Masih dalam gelap yang sama, hitam;
Kami bergelut dengan segala macam pikiran mengenai kehidupan dan orang-orang.
Melihat tali temali maha rumit yang mengikat jaring-jaring realita.
Dan jaring-jaring itu sendiri bersimpul mati. Semuanya berasal dari serabut yang kuat lagi tebal, rumit, sepintas terlihat sederhana namun sukar dijelajah.
Maafkan jika kata-kata kami menggelitik pikir kalian. Membuat kalian merasa jijik dan menganggap kami adalah orang-orang berlebihan kurang kerjaan dengan bahasa yang sulit dimengerti.
Kami adalah kami.
Dengan segala pemikiran dan tingkah laku kami. Juga dengan perasaan yang lebih peka ketimbang yang lain.
Acapkali satu dua tiga cekcok kami alami diantara golongan kami. Kendati demikian, kami tetaplah kami.
Dengan segala ekspresi diri yang menurut kalian sekedar cari sensasi. Tau apa kalian?
Jika kalian mengetahui dilemanya kami; berada dalam ruangan kaku dan dingin yang justru didalamnya memaksa kami untuk bergerak bebas. Sebuah paradoks yang menjadi tulang ikan dalam tenggorokan kami.
Masih dalam gelap yang sama; hitam. Bahkan kami berpikir, jika gelap adalah hitam lalu terang itu apa?
SAMPURASUN
Random News
Selasa, 20 Desember 2016
Suara Anak Sastra
Minggu, 18 Desember 2016
Let’s Go Around the World!
One time I wrote a status on facebook pages with like
this:
This holiday
where should I go? It would be nice if I become a backpacker so could travel
around the world. Feel the cold at st. Basil in Russia, come to white house in
the USA, see a romantic sense in Paris, Take a picture in a buckingham, then
... Fly to Middle Eastern smell the Hajar Aswad in Makkah, pray in Nabawi
mosque, see the painting Virgin Mary in Hagia Sophia, sweating in the Sahara
desert, take a selfie in Sphinx, dinner at Alexandria Beach in Egypt.. and the
next day fly to Mumbai, India. Danced with the cobra and the Indian elephant,
walk along the 'Great Wall' in China, picking cherry blossoms in Tokyo, lunch
in Korea and taste kimchi, then fly to Thailand in order to kill the curiosity
in tasting tomyam, take a rest in the twin towers of Petronas, go to Singapore
to see the Merlion statue, and finally return to my homeland, Indonesia, the paradise
of the world - Wake up from a dream, then trying to make the dream really
happen ...
Who does not want to travel around the world? Go around
the world and spread a lot of goodness is the dream of many people. We can share stories and experiences to new
friends in different countries. We can also take the positive values of their
culture.
Who does not want to travel around the world? How great
person ever to do so. Moreover, currently it supported by social media that
allows us to share the experience with friends and show them that we are in a
different country. Look how great we are!
Foreign language is the foundation to pursue the wish.
Learning foreign language is currently very substansial. Such as English,
German, French, Korean, Japanese, Chinese, and Arabic. Languages mentioned
are popular languages today. USA, England, Germany, and France are the
countries which the most targeted for continuing the study because these
countries have an excellent education system.
Japan, Korea, and China are countries known for influential economic
sector in the world, especially in Asia itself. If we master one of the three
languages are then not a few companies that will accept us. Arabic is the
language of the Qur'an. When we master the Arabic language, we will understand
the contents of the Qur'an and not misinterpret this holy book. Islamic
religious literature laden with his books. If we master the Arabic language
will have no difficulty in reading these books.
How substantial foreign languages are, so to become a
‘traveller’ is an easy thing if we master the languages mentioned above. If you
do not like to memorise so many vocabularies in different languages just
focus to only one of the foreign languages for example English. The most
fundamental thing in mastering the language is interest in the language itself.
Language represents a nation or culture. Therefore if we want to learn English
for example we have to make our heart feel attracted to everything about
English at first: language, culture, artworks, music, and whatever related to
English. This also applies to all languages. If you have a sense of love and
interest, it is not hard to learn the language. So then learning a foreign
language becomes very pleasant even a necessity.
Do you have a dream to explore the world? So what are you
waiting for? Practice makes Perfect, preparation makes perfection. Do it right
now!
Baca, yuk!
“Menurut data dari The Organization for Ecocomic Co-operation and
Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat
teredah di antara 52 negara di Asia.
Unesco melaporkan pada
2012 kemampuan membaca anak-anak dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku,
sedangkan Indonesia mencapai titik terendah: 0 persen.
Artinya, drai 1000
anak Indonesia, hanya satu yang mampu menghabiskan satu buku dalam setahun.
Ini persoalan penting,
ini perkara genting. Soal minat baca memang
terlihat tidak semendesak soal energi atau pangan. Tapi bagaimana menyiapkan
masa depan negeri ini jika tingkat literasi begitu rendah?” Begitulah kata
Najwa Shihab dalam harian Kompas, 18 Agustus 2016 bertepatan dengan hari aksara
internasional.
Tanpa
kita sadari negara kita menduduki peringkat paling rendah dalam minat baca dan
tulis. Ini bukan persoalan sepele mengingat sebuah peradaban bisa dilihat maju
atau tidaknya dari minat masyarakatnya akan literasi. Jika hal yang paling
mudah seperti membaca saja masih rendah, bagaimana dengan memperbaiki negara?
Jika masyarakatnya malas membaca bagaimana dengan memperbaiki pemerintahan?
Jika masyarakatnya lebih asyik memainkan gadget dan belanja barang-barang
bermerk ketimbang membaca buku, bagaimana dengan memperbaiki perekonomian
negara?
Membaca
memang tidak membuat yang lapar menjadi kenyang. Akan tetapi lebih dari itu,
membaca buku dapat menambah wawasan seseorang bagaimana menyikapi persoalan
ekonomi seperti kemiskinan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Mungkin,
salah satu penyebab rendahnya kebiasaan membaca di negara kita adalah pola
pikir masyarakatnya yang menganggap bahwa membaca itu tidak penting. Lebih baik
kerja keras, banting tulang sehingga menghasilkan uang ketimbang duduk nyaman
sambil membaca buku. Ya, pola pikir ini sekilas biasa saja. Tapi tentu saja
tidak sebiasa itu.
Kita
kenal dengan Soekarno, BJ. Habibie, Gus Dur, Quraish Shihab, dan tokoh-tokoh
besar lainnya yang hidup di negara kita. Mereka adalah orang yang mnghargai
ilmu. Begitu menghargainya mereka sangat mencintai buku. Kegemaran mereka akan
membaca tidak perlu ditanyakan lagi. Lantas kita? Orang-orang biasa saja
pantaskah berbicara bahwa membaca itu tidak penting? Apakah kita tidak terlihat
sombong dengan mengatakan hal seperti itu?
Wahyu
pertama yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada RasulNya adalah
‘Iqra’ yang berarti ‘bacalah!’. Satu kata ini merupakan kata kerja tanpa subjek
maupun objek sebelum dan sesudahnya. Sehingga dalam bahasa Arab sendiri kata
ini merujuk pada kalimat perintah. Sudah barang tentu Allah menurunkan ayatNya
dengan kata ‘Bacalah!’ bukan tanpa alasan. Mengapa ayat yang diturunkan pertama
bukan ‘Sembahlah’ atau ‘Sholatlah’?
Tentu
saja karena membaca merupakan pondasi awal untuk menciptakan manusia yang
beradab dab beriman. Beradab berarti memiliki pola pikir cerdas, mengetahui
nilai dan makna, bisa membedakan mana yang baik dan benar, dan berlaku baik
terhadap orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan beriman berarti
memercayai apa yang tidak terlihat dengan mata. Adapun puncak beradab dan
berimannya manusia adalah ketika ia sadar bahwa dirinya ada yang menciptakan,
ketika ia sadar bahwa ada yang melebihi dirinya yaitu Allah.
Ya,
tentunya kebiasaan membaca tidak dapat dipaksakan begitu saja apalagi kepada
para orang dewasa. Tapi bukan tidak mungkin jika kebiasaan membaca ini
dibiasakan sesegera mungkin. Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Untuk para
orang tua sebaiknya sudah mengenalkan buku-buku kepada anak-anaknya sejak usia
dini, sehingga anak-anak akan terbiasa dengan membaca nantinya.
Berbahasa
berarti berbudaya. Berbudaya berarti memiliki peradaban. Peradaban yang besar
terbentuk karena budaya yang kuat. Budaya yang kuat mencerminkan masyarakat
yang cerdas. Cerdas berbudaya, bersosial, berpendidikan, berniaga, bekerja, dan
beragama. Dan semua itu terwujudkan jika masyarakatnya memiliki minat baca yang
tinggi.
Reading Habit for Civilized Society
"According to data from the Organization for Ecocomic Co-operation
and Development (OECD), the reading culture of Indonesian society is the lowest
rank among 52 countries in Asia. In 2012 Unesco reported that a child has an
ability to spent 25 books in a year, while Indonesia reached the lowest point:
0 percent. It means, from 1,000 Indonesian children, only one is able to spend
one book in a year. This is a substansial issue, this critical case. The roblem
of interest in reading probably is not as significant as about energy or food.
But how to prepare the country's future if the literacy rate of the society is
so low?" Said Najwa Shihab in Kompas
Daily, August 18, 2016 coincided with the international literacy day.
Without us knowing our country
was ranked the lowest in reading and writing. This is not a trivial issue
considering a country can be seen whether developed or developing from the
interest of literacy. If the easiest things such as read only still low, how to
improve the country itself? If people are lazy to read how to improve
governance itself? If society is more fun to play gadget and shopping branded
goods rather than read a book, how to fix the country's economy itself?
Reading did not make that hunger
be satisfied, but more than that reading a book can add insight to someone how
to address economic problems such as poverty so he/she can fix it in a real
life with the ways written in the book.
Perhaps, one of causes of the low
reading habits in our country is the mindset of people who think that reading
is not important. Better work hard to make money rather than sit comfortably
while reading a book. Yes, this mindset is casual glance. But of course it's
not as casually like that.
We are familiar with Soekarno,
BJ. Habibie, Gus Dur, Quraish Shihab, and other great figures who live in our
country. They are the ones who appreciate science. Give them a book they love.
They’re reading so many books so they can be a great figures be like. So we
are? Only ordinary people how dare to say that reading is not important? Don’t
we look arrogant to say such a thing?
The first revelation which Allah
revealed through the angel Gabriel to His Messenger Muhammad is 'Iqra' which
means 'read'. This one word is a verb without a subject or object before and
after. Thus, in the Arabic language itself it refers to the command line. Why
is the first verse revealed not the word 'worship' or 'go pray' maybe? Of
course, God sent down His verses with the word 'Read!' Is not without reason.
Actually reading habit is an
early foundation for creating a civilized men and faithful. Civilized men means
society who have an intelligent mindset, knows the value and meaning, can
distinguish between which is the true and false one, and make anything useful to
the people and environment around them. And faith means believing what is not
visible to the eye. The climax of faith of civilized man is when he realized
that he was created by The Great One, when he realized there is something
greater than him and it’s the Highest one, it is God.
The reading habit actually can
not be enforced for granted especially to the adults. But it is not mean
impossible to do. Never too late to learn and so something goodness. And for
parents should be better to introduce books to children from an early age, so
that the children will get used to read later.
Speak means cultured. Cultured
means it has civilization. Great civilizations are formed because of a strong
culture. A strong culture reflects the intelligent human being. Intelligent in
science, social, education, economy, and religion. And all of them will happen
if the people have a high interest in reading.
Cerpen: SURGA DUNIA
Kulihat
jam tangan dengan latar bergambar peta dunia kesayanganku. Pukul tujuh lewat
tiga puluh satu menit. Hei, bukankah acara seharusnya sudah dimulai? Bahkan
sudah lewat satu menit dari jadwal yang kulihat di sebuah pamflet berbahasa
Inggris. Apa mungkin aku salah lihat? Tidak, aku yakin tak salah barang satu
angka pun. Acaranya akan dimulai pada pukul setengah delapan. Kunaikan
resleting sweater hoodie abu-abu
kesayanganku sehingga menimbulkan bunyi yang khas. Malam ini angin cukup berhasil
membuat aku berbuat demikian dibandingkan malam-malam sebelumnya. Di Moskwa
sana pada bulan Oktober, dinginnya berlipat tiga ganda dari dinginnya
Indonesia. Tak cukup dengan hoodie
untuk menghangatkan tubuh. Namun Oktober sekarang aku memutuskan untuk
menghabiskan musim dingin di negara khatulistiwa ini. Bukan karena aku tak kuat
dengan dinginnya Moskwa, melainkan karena rasa penasaranku terhadap negara ini
yang memiliki banyak budaya dan bahasa daerah. Surga dunia pula kata penduduk pribuminya.
Lampu
panggung dinyalakan. Disusul dengan lampu dari setiap candi Prambanan yang
menampilkan kesan artistik bangunan peninggalan kerajaan Hindu itu. Gemintang
yang tak ada keinginan dalam diri untuk menghitung jumlahnya seakan berteriak
hore karena lampu candi dinyalakan. Jika Aristoteles menyaksikan seperti aku
menyaksikan semua pada saat ini mungkin kata Prambanan dan Jawa akan termaktub
dalam setidaknya salah satu tulisannya.
Suara
salah satu alat musik yang aku yakin bahwa itu dibunyikan dengan cara dipukul
menggema ke seluruh penjuru. Penonton diam. bahkan hanya untuk sekedar berbisik
pun enggan. Tersihir dengan suara Doom
yang akhirnya kuketahui bahwa alat itu bernama gong setelah aku bertanya pada
pemuda yang duduk disampingku. Sepertinya mahasiswa. Bahasa Inggrisnya lebih
dari fasih. Jurusan sastra Inggriskah? Atau hanya pernah ikut kursus seperti
orang-orang non-kaukasia lainnya yang berusaha untuk bisa bahasa Inggris demi
kepentingan masing-masing. Kulihat dari ransel yang ia kenakan dan buku catatan
yang ia pegang. Ia kemudian menulis, entah apa.
Alunan
musik itu menciptakan rasa magis dan sakral di lidah penonton yang kelu. Suara
gong dan alat musik lainnya yang entah apa namanya membuat bulu romaku
bersitegang. Mataku hanya berkedip barang dua menit sekali. Bukan, bukan karena
pertunjukkan secara keseluruhan. Karena mata itu. Mata itu yang membuat mataku
tidak berkedip dalam jeda waktu yang lebih lama dari biasanya. Mata dengan bola
mata hitam sempurna dan alis yang menukik setajam cakar garuda. Apakah semua
gadis jawa demikian adanya? Kulihat gadis-gadis lainnya yang menari bersama, sama
cantiknya, sama luwesnya, sama anggunnya. Namun yang satu itu nampak tak sama
meskipun mereka menari dengan gerakan yang serupa.
Pertunjukkan
selesai. Dalam hati aku merutuk kecewa karena ini sebentar sekali.
Pertunjukkannya baru dimulai beberapa menit yang lalu bukan? Kulihat jam tangan
peta duniaku. Pukul sepuluh malam. Akhirnya aku tersadar, sebenarnya yang tidak
waras adalah diriku. Karena gadis Jawa itukah? Penonton mulai meninggalkan
tempat tanpa dititah.
“Namanya
tari serimpi, tuan. Tari yang
merepresentasikan anggun dan cantiknya burung merak namun susah untuk
ditangkap.” Kata mahasiswa disebelahku itu tanpa ditanya. Sudah kubilang bahwa
bahasa Inggrisnya lebih dari fasih. Aku menoleh padanya menunjukkan wajah
heran.
“Oh
maaf sekiranya saya tidak sopan tuan, namaku Legi Sadewo. Panggil saja Legi.”
Aku menjabat tangannya dan kurasakan genggaman salamnya cukup kuat untuk ukuran
orang asia.
“Namaku
Ferdinand Koroskov.” Kataku kemudian tersenyum.
“Sepertinya
Tuan tertarik dengan pertunjukkan ini. Ah, tapi saya pikir anda lebih tertarik
dengan angsa daripada merak.” Katanya kemudian tertawa renyah. Hei, siapa
pemuda ini? Bagaimana ia tahu bahwa aku berasal dari Russia? angsa yang ia
maksud tentu saja tari ballet bukan?
“Hahaha.
Sepertinya kamu tahu aku berasal dari mana.”
“Dari
namamu, tuan Koroskov.”
“Kau
jurusan sastra? Seni?”
“Bukan
mahasiswa, Tuan. Namun Tolstoy adalah salah satu yang ku kagumi.” Katanya
dengan mantap tak ada keraguan. Aku menarik kesimpulan bahwa ia akan menjadi
teman yang mengasyikkan.
“Ah, sepertinya
kau penikmat sastra. Tahu tempat yang nyaman dan buka sepanjang malam untuk
berbincang?” Tanyaku.
“Ikut
saya, Tuan.”
Legi membawaku ke sebuah kafe ‘Bengawan Solo’.
Alunan musik keroncong mengalun pelan menciptakan suasana klasik yang kuat. Di
kafe Legi menceritakan semuanya. Tentang sungai Bengawan Solo, musik keroncong,
dan sang maestro Ki Gesang.
“Aku
penikmat musik keroncong terutama karya Ki Gesang yang satu ini.” Kata Legi
kemudian meneguk kopi arabika yang kami pesan.
“Kau
suka musik, tuan?”
“Sangat
suka. Jika kau berkunjung ke rumahku di Moskwa, kau pasti bakal tidak percaya
bahwa itu sebuah rumah.” Jawabku dengan antusias. Semangatku bangkit begitu
Legi menanyakan soal musik.
“Aku
penggemar musik klasik. Zaman Barok dan Romantik. Mozart dan Betethoven adalah
dua dewa yang ku kagumi dalam bidang ini. Aku juga mengoleksi beberapa piringan
hitam dan jenis gramofon. Semuanya serba klasik. Rumahku lebih terlihat seperti
museum musik.”
“Menyenangkan sekali kedengarannya. Tentu tuan bisa
memainkan alat musik.” Katanya sambil memberi isyarat padaku ke arah grand piano di pojok kafe. Dapat
dipahami maksudnya. Ia menantangku secara tidak langsung. Aku segera beranjak
dari kursi menuju grand piano. Duduk
senyaman mungkin dan memainkan The Magic
Flute karya sang maestro Wolfgang Amadeus Mozart. Sambil memainkannya mataku
terpejam. Meskipun tak melihat aku yakin semua mata yang ada di kafe ini tertuju
kesini. Seorang bule sedang memainkan musik yang terdengar asing bagi mereka. The Magic Flute selesai. Pengunjung kafe
bertepuk tangan riuh.
“Luar
biasa. Sangat senang bisa berjumpa dengan anda tuan Koroskov.” Kata Legi sambil
bertepuk tangan.
“Ferdo,
panggil saja aku Ferdo supaya lebih akrab.”
Berawal
dari dua orang asing yang tak saling kenal karena perbedaan ras, budaya, dan
bahasa, kini kami seperti dua sahabat yang sudah lama tak bersua. Kami memiliki
banyak kesamaan. Sama-sama penikmat seni dan sastra. Legi berusia empat tahun
lebih muda dariku. Ia merupakan seorang wartawan sekaligus penulis. Kegemarannya
akan membaca buku dan menulis membuat ia berhasil mendapatkan posisi itu
meskipun tak pernah merasakan bangku kuliah.
“Awalnya
aku mengirimkan sebuah artikel di koran nasional yang cukup terkenal dan
diterima dengan respon yang sangat baik. Kemudian ditawarkan untuk menjadi
kolumnis tetap yang mengisi satu kolom bertemakan sastra dan budaya. Sampai
sekarang pun masih menjadi kolumnis, namun rasanya bosan jika hanya menulis
saja. Dan akhirnya aku mengajukan diri menjadi wartawan.”
“Usiamu
masih muda dan kau kini menjabat sebagai wartawan dan penulis sekaligus. Sangat
hebat, kawan!” Aku salut padanya. Yang dipuji hanya tertawa.
“Oh
ya, sepertinya kau suka tarian tadi. Jika mau aku bisa mengajakmu ke sanggar
tempat para penari itu berlatih.”
Entah
mengapa darahku berdesir mendengar ajakannya. Teringat pada salah seorang
penari tadi yang menyihirku menjadi lupa waktu.
“Dengan
senang hati.” Kataku mantap. Kami bertukar nomor whatsapp.
Lima
belas menit aku menunggu di halte. Kami sepakat untuk bertemu disini. Legi belum
nampak batang hidungnya. Bau asap rokok tercium langsung olehku. Berasal dari
lelaki tua dengan sekotak kardus dipangkuan. Entah apa isinya. Lelaki itu
sekilas memperhatikan penampilanku. Terlihat sangat ingin menyapa namun
khawatir salah ucap. Dalam hati ini berniat menegur namun khawatir si kakek tak
paham.
“Selamat
pagi, tuan Ferdo. Maaf membuatmu menunggu. Orang barat memang selalu lebih tepat
waktu ya.” Katanya kemudian tertawa.
“Ah,
tak apa. Banyak hal yang ku perhatikan selama menunggu. Menarik.”
Kami
menaiki bus kota menuju tempat yang kuharap disana berjumpa dengan gadis itu.
Saat ini kusebut sajalah ia sang penari. Di perjalanan Legi menceritakan banyak
hal. Segala sesuatu tentang negeri ini ia ceritakan. Sejarah, seni, budaya, dan
bahasa menjadi topik utamanya.
“Indonesia
mempunyai lebih dari seribu bahasa daerah. Bayangkan tuan, lebih dari seribu!
Tapi dari Sabang sampai Merauke kami berbahasa ibu hanya satu, tuan. Bahasa
Indonesia. Yang menyatukan kami hingga saat ini.” Kata Legi dengan antusias dan
obrolan kami berhenti karena Legi memberi isyarat kepadaku untuk turun. Kami
sudah sampai.
Kami
memasuki gerbang kayu bertulisan ‘Sanggar Tresno’ diatasnya. Melewati jalan
yang terdiri dari kumpulan batu alam. Rumput dan bunga di kanan-kiri menyambut
kedatangan kami. Bangunan sanggar yang terbuat dari kayu jati yang dipernis
membuat mataku tak bosan menatapi setiap guratan-guratan alami pada dindingnya.
“Selamat
datang Tuan Koroskov.” Seorang wanita dengan setelan kebaya hijau muda
tiba-tiba muncul dari balik pintu bangunan ini. Rambutnya disanggul besar
memberi kesan bahwa ia adalah wanita bersahaja. Uban putih terlihat beberapa
baris diantara rambut hitamnya. Tunggu, Bagaimana ia tahu namaku?
“Ah,
seharusnya kau tanyakan itu pada Legi. Legi yang memberitahu bahwa kau akan
datang. Perkenalkan namaku Nyimas.” Wanita ini menangkap wajah heranku. Kami
bersalaman. Logat jawanya tak bisa disembunyikan meskipun dengan bahasa
Inggris.
“Senang
berjumpa dengan anda, nyonya Nyimas.”
“Mari,
silahkan masuk.”
Perempuan
itu menuntun kami ke ruang tamu di belakang. Ruang tamu seolah sengaja
diposisikan demikian. Karena dari jendela di ruangan ini, aku bisa melihat
sekelompok gadis sedang latihan menari. Aku mencari-cari sosok ‘sang penari’
namun tak kudapat dia diantara mereka.
”Nyonya.
Siapakah gadis yang paling pandai menari diantara gadis-gadis yang lain?” Tanyaku
lancang.
“Mengapa
tuan bertanya demikian?”
Bodoh.
Pertanyaan macam apa pula itu. Seperti tak ada pertanyaan yang lain saja.
“Kalau
berkenan, aku ingin mewawancarai gadis itu.” Alasan itu keluar dari mulutku
secara spontan. Luar biasa.
“Tunggu
sebentar.”
Perempuan
itu meninggalkan ruang tamu. Legi terlihat sedang mangamati beberapa lukisan
yang terpajang di ruang tamu. Semenjak kami tiba di tempat ini ia lebih banyak
diam.
“Hey
bocah bandel, kenapa kau tak bilang kakak bahwa kau ingin kemari?”
Sosok
itu datang secara tiba-tiba. ‘Sang penari’ yang menyihirku menjadi lupa waktu.
“Lebih
baik aku bilang langsung ke Nyonya Nyimas daripada ke gadis galak seperti
kakak. Pantas saja sampai saat ini tak ada lelaki yang mau dekat-dekat dengan
kakak. Huh. Galak sekali macam....”
“Macam
apa....?”
“Ah
perkenalkan kak, ini tuan Ferdinand Koroskov dari Russia.”
Tunggu,
Jadi gadis ini? Gadis yang mengatur jeda kedipan mataku ini adalah kakak dari
bocah ini? Gadis itu tertunduk malu setelah menyadari bahwa sejak tadi ada
orang lain selain adiknya di ruangan ini, terlebih orang itu adalah bule.
“Maaf
Tuan, aku kelepasan. Perkenalkan namaku Puspita Sadewi. Panggil saja Dewi.
Kakak dari bocah bandel yang bersama tuan saat ini.” Katanya dalam bahasa
Inggris berlogat Jawa.
Kejadian malam itu terulang kembali namun kali
ini berlipat-lipat rasanya. Sentuhan tangannya yang menyalamiku terasa tak
cukup sampai dikulit namun sampai ke jantung. Rasanya ingin melompat dan
berteriak saja.
Sudah
hampir lima jam aku menunggu di depan ruang operasi dengan was-was lagi penuh
harap. Aku tidak bisa tenang. Aku sangat berharap operasinya berhasil sehingga Marry bisa sembuh dan kembali
seperti Marry yang ku kenal dulu. Marry yang periang. Yang selalu bisa
membuatku tertawa disaat cemas sekalipun. Namun kali ini tak ada yang mampu
menghilangkan rasa cemas ini. Pintu ruang operasi dibuka. Dengan cepat aku
menghampiri dokter.
“Bagaimana
operasinya dok?”
“Masuk
ke dalam, dia membutuhkan dukunganmu.” Kata dokter itu dingin. Dengan gerakan
secepat rusa aku masuk kedalam ruangan. Menghampiri kekasihku yang kini
tergolek tak berdaya di atas kasur rumah sakit dengan berbagai macam alat bantu
yang berusaha keras membuatnya agar tetap bisa bernafas.
“Ferdo,
aku sudah tidak kuat lagi. Biarkan aku kalah. Kanker ini terlalu kuat. Bukankah
mengalah itu tak berarti kalah?” Entah mengapa hati ini terasa perih mendengar
kalimatnya barusan. Aku menangis.
“Sayang,
pernikahan kita tinggal beberapa bulan lagi. Kamu harus bisa bertahan.”
“Tidak.
Aku.. Aku berjanji sayang, akan mengirimkanmu seorang bidadari titisan dewi Venus
yang datang dari surga. Aku janji.......
Dengarkan baik-baik Ferdo, aku jan...ji...”
Tangisku
meledak. Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Marry. Aku tak paham betul
maksudnya.
Sejak saat itu hidupku tak
bersemangat. Aku menjadi orang linglung. Tak tahu arah. Hingga akhirnya aku
mencoba untuk bangkit. Melupakan segalanya dan mencoba membuka halaman baru. Aku
pergi melancong ke berbagai negara di dunia untuk memperbaiki suasana hati.
Sudah hampir satu jam aku
menunggu di depan ruang operasi dengan was-was lagi penuh harap. Aku tidak bisa
tenang. Aku sangat berharap persalinannya berjalan dengan lancar. Pintu ruang
persalinan dibuka. Dengan cepat aku menghampiri dokter.
“Bagaimana persalinannya
dok, berhasil?”
“Tengoklah kedalam,
bayinya perempuan.” Kata dokter itu disertai senyuman ramah. Dengan gerakan
secepat rusa aku masuk kedalam ruangan. Menghampiri istriku yang kini tergolek
lemas diatas kasur rumah sakit. Meskipun demikian ia berusaha untuk tersenyum
menyambut kedatanganku.
Pertemuanku dengan Dewi
di sanggar Tresno membuatku tersadar bahwa Marry telah menepati janjinya. Dewi
adalah sosok gadis jawa yang periang persis seperti Marry hanya dalam bentuk
dan budaya yang berbeda. Dewi adalah gadis yang baik, ramah, namun tegas. Tepat
seperti janji Marry, Dewi adalah titisan Venus. Sejak peristiwa disanggar, kami
sering bertemu dari hanya sekedar berbincang seputar kebudayaan masyarakat Jawa
sampai masalah pribadi. Aku mengajaknya untuk menikah ia terima dengan satu
syarat. Ia tak ingin tinggal di Moskwa sana, cukup disini saja katanya, di
tanah kelahirannya. Surga dunia. Indonesia.
Selasa, 18 Oktober 2016
Good Teacher is a Good Hero
If Superman was known by people as a hero who
showed his bravery and extraordinary power to help citizen, a teacher was known
and respected because his work to learn and educate their students. Many people
want to be like Superman in their fantasy because he looked so cool and great.
But they forgot the hero in real lief . We get Superman’s exceptional action in
the movie or comic but the teacher’s
work is not fiction. Superman overcome
the citizen’s problem and a teacher moreover. A teacher can make personages:
doctor, police, army, scientist, architect, and much more.
To be a teacher is a
good wish. Becoming it is needed patience, carefulness, sincerity, and
creativity. Patience in facing students, sincerity in transfering knowledges,
and creativity in teaching. All of them makes you a good teacher perfectly. If
you want to be a teacher actually you should have a special characteristic.
Based on the character, teacher was divided into several categories:
The first is a text
book-teacher who always used the text book in every teaching. Whole of the
utternce and expression of him/her is based on the text book. Basically a teacher must have reference books
as material of teaching. But, a teacher also must guard the students with
explaining the material to make them perfectly understand.
The second is a
researcher teacher. We can find this one in mathematical and natural sciences
class. The teacher’s talk and teaching based on scientific facts. Therefore,
this teacher is easy to be received and understand by her/his students. If
there is a student who have a cheat with his friend or make a copy-paste from
internet automatically will be known by this teacher.
The third is a
fashionable teacher. This type of teacher always tries to be perfect in front of
students. This teacher usually wear the accessories as outfit to interest
students and other teachers in the college or school.
The fourth is an
invisible teacher. This type of teacher infrequently come into the class but
he/she always give some assignments for students frequently. There are two
reasons why the teacher come into the class infrequently. The first he/she has
an other activities out of the class and the second is laziness. It is not a
good example because students could not ask questions directly when they don’t
understand about the material.
The fifth is a killer
teacher. This type of teacher is very firm in teaching and scoring. Usually
this teacher has many rules for students. For example: Nobody go out of the
class during lesson, nobody come late into the class, nobody talk with friends
during the class, and so on. Students have no bravery to collide the rules
because the punishment or anger.
The sixth is a
friendly teacher. This type is usually favourited by students. This teacher has
a good communication and ability to approach students. He/she can make a pleasing
situation in the class so that students enjoyed and pleased during lesson,
example: make a joke among his/her expalanation of material.
That’s all types of
teacher based on character. Recently, a teacher should have a good and creative
performance and always up to date with many things. Reading or searching many references makes the perfection. A good teacher is who can communicate with
students well and have a knowledges more than them. If you can be a good
teacher, you can be a good hero equally.
Puisi: Mengeluh?
Aku kagum kepadanya...
Yang mampu:
Tersenyum saat hati getir
Bangkit walau sedang lumpuh
Berteriak walau suara serak
Tertawa walau sedang rapuh
Berlari walau kaki sakit
Bernyanyi walau tak bisa bicara
Memandang walau tak bisa melihat
Mencoba mengerti walau tuli
Bermain walau tak ada yang
mengajaknya main
Kepadanya
Aku tersenyum,
Aku menunduk malu
Masihkah ada kesempatan untukku
Untuk mengeluh
Hanya karena tugas-tugas
kuliahku?
Bandung, 23 Maret 2016
Langganan:
Postingan (Atom)