Kulihat
jam tangan dengan latar bergambar peta dunia kesayanganku. Pukul tujuh lewat
tiga puluh satu menit. Hei, bukankah acara seharusnya sudah dimulai? Bahkan
sudah lewat satu menit dari jadwal yang kulihat di sebuah pamflet berbahasa
Inggris. Apa mungkin aku salah lihat? Tidak, aku yakin tak salah barang satu
angka pun. Acaranya akan dimulai pada pukul setengah delapan. Kunaikan
resleting sweater hoodie abu-abu
kesayanganku sehingga menimbulkan bunyi yang khas. Malam ini angin cukup berhasil
membuat aku berbuat demikian dibandingkan malam-malam sebelumnya. Di Moskwa
sana pada bulan Oktober, dinginnya berlipat tiga ganda dari dinginnya
Indonesia. Tak cukup dengan hoodie
untuk menghangatkan tubuh. Namun Oktober sekarang aku memutuskan untuk
menghabiskan musim dingin di negara khatulistiwa ini. Bukan karena aku tak kuat
dengan dinginnya Moskwa, melainkan karena rasa penasaranku terhadap negara ini
yang memiliki banyak budaya dan bahasa daerah. Surga dunia pula kata penduduk pribuminya.
Lampu
panggung dinyalakan. Disusul dengan lampu dari setiap candi Prambanan yang
menampilkan kesan artistik bangunan peninggalan kerajaan Hindu itu. Gemintang
yang tak ada keinginan dalam diri untuk menghitung jumlahnya seakan berteriak
hore karena lampu candi dinyalakan. Jika Aristoteles menyaksikan seperti aku
menyaksikan semua pada saat ini mungkin kata Prambanan dan Jawa akan termaktub
dalam setidaknya salah satu tulisannya.
Suara
salah satu alat musik yang aku yakin bahwa itu dibunyikan dengan cara dipukul
menggema ke seluruh penjuru. Penonton diam. bahkan hanya untuk sekedar berbisik
pun enggan. Tersihir dengan suara Doom
yang akhirnya kuketahui bahwa alat itu bernama gong setelah aku bertanya pada
pemuda yang duduk disampingku. Sepertinya mahasiswa. Bahasa Inggrisnya lebih
dari fasih. Jurusan sastra Inggriskah? Atau hanya pernah ikut kursus seperti
orang-orang non-kaukasia lainnya yang berusaha untuk bisa bahasa Inggris demi
kepentingan masing-masing. Kulihat dari ransel yang ia kenakan dan buku catatan
yang ia pegang. Ia kemudian menulis, entah apa.
Alunan
musik itu menciptakan rasa magis dan sakral di lidah penonton yang kelu. Suara
gong dan alat musik lainnya yang entah apa namanya membuat bulu romaku
bersitegang. Mataku hanya berkedip barang dua menit sekali. Bukan, bukan karena
pertunjukkan secara keseluruhan. Karena mata itu. Mata itu yang membuat mataku
tidak berkedip dalam jeda waktu yang lebih lama dari biasanya. Mata dengan bola
mata hitam sempurna dan alis yang menukik setajam cakar garuda. Apakah semua
gadis jawa demikian adanya? Kulihat gadis-gadis lainnya yang menari bersama, sama
cantiknya, sama luwesnya, sama anggunnya. Namun yang satu itu nampak tak sama
meskipun mereka menari dengan gerakan yang serupa.
Pertunjukkan
selesai. Dalam hati aku merutuk kecewa karena ini sebentar sekali.
Pertunjukkannya baru dimulai beberapa menit yang lalu bukan? Kulihat jam tangan
peta duniaku. Pukul sepuluh malam. Akhirnya aku tersadar, sebenarnya yang tidak
waras adalah diriku. Karena gadis Jawa itukah? Penonton mulai meninggalkan
tempat tanpa dititah.
“Namanya
tari serimpi, tuan. Tari yang
merepresentasikan anggun dan cantiknya burung merak namun susah untuk
ditangkap.” Kata mahasiswa disebelahku itu tanpa ditanya. Sudah kubilang bahwa
bahasa Inggrisnya lebih dari fasih. Aku menoleh padanya menunjukkan wajah
heran.
“Oh
maaf sekiranya saya tidak sopan tuan, namaku Legi Sadewo. Panggil saja Legi.”
Aku menjabat tangannya dan kurasakan genggaman salamnya cukup kuat untuk ukuran
orang asia.
“Namaku
Ferdinand Koroskov.” Kataku kemudian tersenyum.
“Sepertinya
Tuan tertarik dengan pertunjukkan ini. Ah, tapi saya pikir anda lebih tertarik
dengan angsa daripada merak.” Katanya kemudian tertawa renyah. Hei, siapa
pemuda ini? Bagaimana ia tahu bahwa aku berasal dari Russia? angsa yang ia
maksud tentu saja tari ballet bukan?
“Hahaha.
Sepertinya kamu tahu aku berasal dari mana.”
“Dari
namamu, tuan Koroskov.”
“Kau
jurusan sastra? Seni?”
“Bukan
mahasiswa, Tuan. Namun Tolstoy adalah salah satu yang ku kagumi.” Katanya
dengan mantap tak ada keraguan. Aku menarik kesimpulan bahwa ia akan menjadi
teman yang mengasyikkan.
“Ah, sepertinya
kau penikmat sastra. Tahu tempat yang nyaman dan buka sepanjang malam untuk
berbincang?” Tanyaku.
“Ikut
saya, Tuan.”
Legi membawaku ke sebuah kafe ‘Bengawan Solo’.
Alunan musik keroncong mengalun pelan menciptakan suasana klasik yang kuat. Di
kafe Legi menceritakan semuanya. Tentang sungai Bengawan Solo, musik keroncong,
dan sang maestro Ki Gesang.
“Aku
penikmat musik keroncong terutama karya Ki Gesang yang satu ini.” Kata Legi
kemudian meneguk kopi arabika yang kami pesan.
“Kau
suka musik, tuan?”
“Sangat
suka. Jika kau berkunjung ke rumahku di Moskwa, kau pasti bakal tidak percaya
bahwa itu sebuah rumah.” Jawabku dengan antusias. Semangatku bangkit begitu
Legi menanyakan soal musik.
“Aku
penggemar musik klasik. Zaman Barok dan Romantik. Mozart dan Betethoven adalah
dua dewa yang ku kagumi dalam bidang ini. Aku juga mengoleksi beberapa piringan
hitam dan jenis gramofon. Semuanya serba klasik. Rumahku lebih terlihat seperti
museum musik.”
“Menyenangkan sekali kedengarannya. Tentu tuan bisa
memainkan alat musik.” Katanya sambil memberi isyarat padaku ke arah grand piano di pojok kafe. Dapat
dipahami maksudnya. Ia menantangku secara tidak langsung. Aku segera beranjak
dari kursi menuju grand piano. Duduk
senyaman mungkin dan memainkan The Magic
Flute karya sang maestro Wolfgang Amadeus Mozart. Sambil memainkannya mataku
terpejam. Meskipun tak melihat aku yakin semua mata yang ada di kafe ini tertuju
kesini. Seorang bule sedang memainkan musik yang terdengar asing bagi mereka. The Magic Flute selesai. Pengunjung kafe
bertepuk tangan riuh.
“Luar
biasa. Sangat senang bisa berjumpa dengan anda tuan Koroskov.” Kata Legi sambil
bertepuk tangan.
“Ferdo,
panggil saja aku Ferdo supaya lebih akrab.”
Berawal
dari dua orang asing yang tak saling kenal karena perbedaan ras, budaya, dan
bahasa, kini kami seperti dua sahabat yang sudah lama tak bersua. Kami memiliki
banyak kesamaan. Sama-sama penikmat seni dan sastra. Legi berusia empat tahun
lebih muda dariku. Ia merupakan seorang wartawan sekaligus penulis. Kegemarannya
akan membaca buku dan menulis membuat ia berhasil mendapatkan posisi itu
meskipun tak pernah merasakan bangku kuliah.
“Awalnya
aku mengirimkan sebuah artikel di koran nasional yang cukup terkenal dan
diterima dengan respon yang sangat baik. Kemudian ditawarkan untuk menjadi
kolumnis tetap yang mengisi satu kolom bertemakan sastra dan budaya. Sampai
sekarang pun masih menjadi kolumnis, namun rasanya bosan jika hanya menulis
saja. Dan akhirnya aku mengajukan diri menjadi wartawan.”
“Usiamu
masih muda dan kau kini menjabat sebagai wartawan dan penulis sekaligus. Sangat
hebat, kawan!” Aku salut padanya. Yang dipuji hanya tertawa.
“Oh
ya, sepertinya kau suka tarian tadi. Jika mau aku bisa mengajakmu ke sanggar
tempat para penari itu berlatih.”
Entah
mengapa darahku berdesir mendengar ajakannya. Teringat pada salah seorang
penari tadi yang menyihirku menjadi lupa waktu.
“Dengan
senang hati.” Kataku mantap. Kami bertukar nomor whatsapp.
Lima
belas menit aku menunggu di halte. Kami sepakat untuk bertemu disini. Legi belum
nampak batang hidungnya. Bau asap rokok tercium langsung olehku. Berasal dari
lelaki tua dengan sekotak kardus dipangkuan. Entah apa isinya. Lelaki itu
sekilas memperhatikan penampilanku. Terlihat sangat ingin menyapa namun
khawatir salah ucap. Dalam hati ini berniat menegur namun khawatir si kakek tak
paham.
“Selamat
pagi, tuan Ferdo. Maaf membuatmu menunggu. Orang barat memang selalu lebih tepat
waktu ya.” Katanya kemudian tertawa.
“Ah,
tak apa. Banyak hal yang ku perhatikan selama menunggu. Menarik.”
Kami
menaiki bus kota menuju tempat yang kuharap disana berjumpa dengan gadis itu.
Saat ini kusebut sajalah ia sang penari. Di perjalanan Legi menceritakan banyak
hal. Segala sesuatu tentang negeri ini ia ceritakan. Sejarah, seni, budaya, dan
bahasa menjadi topik utamanya.
“Indonesia
mempunyai lebih dari seribu bahasa daerah. Bayangkan tuan, lebih dari seribu!
Tapi dari Sabang sampai Merauke kami berbahasa ibu hanya satu, tuan. Bahasa
Indonesia. Yang menyatukan kami hingga saat ini.” Kata Legi dengan antusias dan
obrolan kami berhenti karena Legi memberi isyarat kepadaku untuk turun. Kami
sudah sampai.
Kami
memasuki gerbang kayu bertulisan ‘Sanggar Tresno’ diatasnya. Melewati jalan
yang terdiri dari kumpulan batu alam. Rumput dan bunga di kanan-kiri menyambut
kedatangan kami. Bangunan sanggar yang terbuat dari kayu jati yang dipernis
membuat mataku tak bosan menatapi setiap guratan-guratan alami pada dindingnya.
“Selamat
datang Tuan Koroskov.” Seorang wanita dengan setelan kebaya hijau muda
tiba-tiba muncul dari balik pintu bangunan ini. Rambutnya disanggul besar
memberi kesan bahwa ia adalah wanita bersahaja. Uban putih terlihat beberapa
baris diantara rambut hitamnya. Tunggu, Bagaimana ia tahu namaku?
“Ah,
seharusnya kau tanyakan itu pada Legi. Legi yang memberitahu bahwa kau akan
datang. Perkenalkan namaku Nyimas.” Wanita ini menangkap wajah heranku. Kami
bersalaman. Logat jawanya tak bisa disembunyikan meskipun dengan bahasa
Inggris.
“Senang
berjumpa dengan anda, nyonya Nyimas.”
“Mari,
silahkan masuk.”
Perempuan
itu menuntun kami ke ruang tamu di belakang. Ruang tamu seolah sengaja
diposisikan demikian. Karena dari jendela di ruangan ini, aku bisa melihat
sekelompok gadis sedang latihan menari. Aku mencari-cari sosok ‘sang penari’
namun tak kudapat dia diantara mereka.
”Nyonya.
Siapakah gadis yang paling pandai menari diantara gadis-gadis yang lain?” Tanyaku
lancang.
“Mengapa
tuan bertanya demikian?”
Bodoh.
Pertanyaan macam apa pula itu. Seperti tak ada pertanyaan yang lain saja.
“Kalau
berkenan, aku ingin mewawancarai gadis itu.” Alasan itu keluar dari mulutku
secara spontan. Luar biasa.
“Tunggu
sebentar.”
Perempuan
itu meninggalkan ruang tamu. Legi terlihat sedang mangamati beberapa lukisan
yang terpajang di ruang tamu. Semenjak kami tiba di tempat ini ia lebih banyak
diam.
“Hey
bocah bandel, kenapa kau tak bilang kakak bahwa kau ingin kemari?”
Sosok
itu datang secara tiba-tiba. ‘Sang penari’ yang menyihirku menjadi lupa waktu.
“Lebih
baik aku bilang langsung ke Nyonya Nyimas daripada ke gadis galak seperti
kakak. Pantas saja sampai saat ini tak ada lelaki yang mau dekat-dekat dengan
kakak. Huh. Galak sekali macam....”
“Macam
apa....?”
“Ah
perkenalkan kak, ini tuan Ferdinand Koroskov dari Russia.”
Tunggu,
Jadi gadis ini? Gadis yang mengatur jeda kedipan mataku ini adalah kakak dari
bocah ini? Gadis itu tertunduk malu setelah menyadari bahwa sejak tadi ada
orang lain selain adiknya di ruangan ini, terlebih orang itu adalah bule.
“Maaf
Tuan, aku kelepasan. Perkenalkan namaku Puspita Sadewi. Panggil saja Dewi.
Kakak dari bocah bandel yang bersama tuan saat ini.” Katanya dalam bahasa
Inggris berlogat Jawa.
Kejadian malam itu terulang kembali namun kali
ini berlipat-lipat rasanya. Sentuhan tangannya yang menyalamiku terasa tak
cukup sampai dikulit namun sampai ke jantung. Rasanya ingin melompat dan
berteriak saja.
Sudah
hampir lima jam aku menunggu di depan ruang operasi dengan was-was lagi penuh
harap. Aku tidak bisa tenang. Aku sangat berharap operasinya berhasil sehingga Marry bisa sembuh dan kembali
seperti Marry yang ku kenal dulu. Marry yang periang. Yang selalu bisa
membuatku tertawa disaat cemas sekalipun. Namun kali ini tak ada yang mampu
menghilangkan rasa cemas ini. Pintu ruang operasi dibuka. Dengan cepat aku
menghampiri dokter.
“Bagaimana
operasinya dok?”
“Masuk
ke dalam, dia membutuhkan dukunganmu.” Kata dokter itu dingin. Dengan gerakan
secepat rusa aku masuk kedalam ruangan. Menghampiri kekasihku yang kini
tergolek tak berdaya di atas kasur rumah sakit dengan berbagai macam alat bantu
yang berusaha keras membuatnya agar tetap bisa bernafas.
“Ferdo,
aku sudah tidak kuat lagi. Biarkan aku kalah. Kanker ini terlalu kuat. Bukankah
mengalah itu tak berarti kalah?” Entah mengapa hati ini terasa perih mendengar
kalimatnya barusan. Aku menangis.
“Sayang,
pernikahan kita tinggal beberapa bulan lagi. Kamu harus bisa bertahan.”
“Tidak.
Aku.. Aku berjanji sayang, akan mengirimkanmu seorang bidadari titisan dewi Venus
yang datang dari surga. Aku janji.......
Dengarkan baik-baik Ferdo, aku jan...ji...”
Tangisku
meledak. Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Marry. Aku tak paham betul
maksudnya.
Sejak saat itu hidupku tak
bersemangat. Aku menjadi orang linglung. Tak tahu arah. Hingga akhirnya aku
mencoba untuk bangkit. Melupakan segalanya dan mencoba membuka halaman baru. Aku
pergi melancong ke berbagai negara di dunia untuk memperbaiki suasana hati.
Sudah hampir satu jam aku
menunggu di depan ruang operasi dengan was-was lagi penuh harap. Aku tidak bisa
tenang. Aku sangat berharap persalinannya berjalan dengan lancar. Pintu ruang
persalinan dibuka. Dengan cepat aku menghampiri dokter.
“Bagaimana persalinannya
dok, berhasil?”
“Tengoklah kedalam,
bayinya perempuan.” Kata dokter itu disertai senyuman ramah. Dengan gerakan
secepat rusa aku masuk kedalam ruangan. Menghampiri istriku yang kini tergolek
lemas diatas kasur rumah sakit. Meskipun demikian ia berusaha untuk tersenyum
menyambut kedatanganku.
Pertemuanku dengan Dewi
di sanggar Tresno membuatku tersadar bahwa Marry telah menepati janjinya. Dewi
adalah sosok gadis jawa yang periang persis seperti Marry hanya dalam bentuk
dan budaya yang berbeda. Dewi adalah gadis yang baik, ramah, namun tegas. Tepat
seperti janji Marry, Dewi adalah titisan Venus. Sejak peristiwa disanggar, kami
sering bertemu dari hanya sekedar berbincang seputar kebudayaan masyarakat Jawa
sampai masalah pribadi. Aku mengajaknya untuk menikah ia terima dengan satu
syarat. Ia tak ingin tinggal di Moskwa sana, cukup disini saja katanya, di
tanah kelahirannya. Surga dunia. Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar