"Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laailaaha illallahu Allahu
akbar, Allahu Akbar walillahilhamd...."
Suara takbir dari speaker masjid yang tak jauh dari
rumahku terus menggema melewati lorong-lorong gang, pos ronda, pangkalan ojek,
warung-warung kecil, hingga kerumah-rumah warga dusun kami. Bocah-bocah kampung
bersarung dan berkopiah tampak sangat antusias menyambut Idul Fitri esok hari.
Mereka memukul-mukul bedug dan kentongan dengan penuh semangat, sekarang memang
giliran mereka untuk "bersorak-sorak" di masjid, sedangkan para
bapak-bapak biasanya baru mulai "bersorak-sorak" sekitar pukul
sebelas malam.
"hoaammm..." aku
terbangun dari tidur. Kulihat disamping tempat tidurku ibu sudah bersiap-siap
dengan tas belanjaannya ditangan.
"ibu mau kepasar?"
tanyaku.
"iya, kamu mau ikut?"
aku hanya menganggukan kepala.
"ya sudah, cepat sana mandi!
nanti keburu siang, kalau siang pasar makin ramai."
Dengan senang hati aku bergegas
kekamar mandi. Bagiku, ikut menemani ibu kepasar adalah salah satu kegiatan
yang mengasyikkan. Entahlah, akupun tak tahu kenapa. Mungkin karena disana aku
bisa bertemu dengan berbagai macam orang dengan rupa berbeda-beda. Rambutnya,
pakainnya, kulitnya, bahkan wataknya. Pasar merupakan tempat berbagai macam
kegiatan dan hal yang berbeda-beda.
Tidak sampai sepuluh menit aku
sudah selesai mandi saking semangatnya. Aku mengganti pakaian dan sudah siap
untuk menemani ibu kepasar.
Dipasar ibu terlihat sibuk
memilih-milih dan menawarkan buah-buahan, sayuran, kue-kue kering, dan makanan
lainnya yang tidak kuketahui namanya. Terakhir ibu mengajakku ke sebuah kios
yang menjual pakaian. Lalu ibu memilih-milih baju koko dan sesekali
menempelkannya ke depan tubuhku.
"beli baju baru, bu?"
tanyaku heran.
"iya, buat nanti lebaran,
bagus nggak?" katanya sambil
memperlihatkan baju koko kotak-kotak hijau kepadaku.
"Asyiikk!!! Dimas beli baju
baru!!!". teriakku girang tanpa menjawab pertanyaan ibu. Ibuku hanya
tersenyum melihat tingkahku.
Sepulangnya dari pasar aku menghampiri ibu yang tampak
sedang mengaduk-aduk adonan kue, tangannya terbungkus plastik transparan yang
nyaris berwarna putih karena tepung.
“Ibu, bikin kue nastar atau puteri salju?”
“Hmmm... coba tebak?”
“Puteri salju!”
“Salah.....”
“Nastar?”
“Salah juga”
“Yah.. terus apa?”
Ibu menghentikan kegiatan
mengaduk adonan, mendekatkan wajahnya kepadaku lalu menyentuh hidungku dengan
jari telunjuknya.
“Ibu bikin dua-duanya hehehe”
“huuuu berarti Dimas benar.”
Jawabku dengan mimik cemberut tanpa sadar bahwa dihidungku tercetak tepung
terigu dari telunjuk ibu.
“Bu, kenapa
setiap lebaran orang-orang terlihat senang sekali”
Ibu
menatapku sekilas lalu kembali mengaduk adonan kue.
“kamu
mau tahu jawabannya?”
“tentu,
bu.”
Tanpa
menghentikan adukannya ibu menjelaskan bahwa idul fitri merupakan hari
kemenangan. Merayakannya adalah wujud syukur kepada Tuhan karena kita masih
bisa merasakan air wudhu, menginjak sajadah ketika sholat, melafadzkan namaNya
dalam sujud, membaca ayat-ayatNya dalam khusyuk.
“Nah,
maka dari itu... Orang-orang merayakannya dengan penuh suka
cita...............”
Penjelasan
ibu terpotong oleh suara ledakan yang entah darimana asalnya memekakan
telingaku. Seketika itu juga semuanya berubah menjadi gelap.
Samar-samar
penglihatanku menyadarkan bahwa aku sedang tidak berada di rumah. Langit-langit
serta dinding cat putih mendominasi ruangan. Bau obat tercium oleh hidungku
yang sudah dipasang alat yang aku tak tahu namanya. Alat itu berupa selang yang
menghubungkan tubuhku dengan monitor disamping tempatku terbaring. Perban putih
membungkusku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Warna merah terlihat di
beberapa bagian. Daerah satu-satunya yang luput dari perban adalah kedua mata
ini. Sekujur tubuhku terasa perih dan kaku, susah sekali untuk bergerak. Satu-satunya
aktifitas yang bisa kulakukan hanyalah bernafas, menggerakan bola mata, dan
berkata dalam hati. Ibu... Aku dimana?
Ibu dimana? Ibu... apakah aku di rumah sakit? Ibu dimana? Ibu... aku susah
bicara, aku susah bergerak... ibu...
Tampak
seorang wanita masuk kedalam ruangan tempatku terbaring. Suster, ibuku mana? Aku kira suster itu bakal bertanya tentang
kondisiku, tapi nyatanya ia hanya melihat, mencatat sesuatu diatas berkas yang
dibawanya kemudian menutup gorden jendela ruangan itu. Suster, dimana ibu?
Beberapa
menit kemudian suster tadi kembali ke ruangan namun kali ini dengan seorang
wanita berkacamata, berjas putih dengan rambut dikuncir bak ekor kuda. Dokter
itu mengatakan sesuatu kepada si suster. Si suster menganggukan kepala dan pergi
keluar ruangan. Sejurus kemudian si suster kembali dengan membawa alat suntik.
Lengan kananku disuntik. Dua kali. Sakit. Aku benci suntikan. Namun apa daya,
kondisi seperti ini membuatku sulit untuk berontak. Aku merasakan kantuk yang
teramat sangat. Sejurus kemudian semuanya kembali menjadi gelap.
“Diduga dia adalah anak dari
korban yang ditemukan tewas di tempat terjadinya ledakan.”
“Nama?”
“Entahlah, sampai sekarang kami
sulit menemukan tanda pengenal untuk mengetahui identitasnya. Kartu keluarga
beserta surat-surat penting lainnya habis terbakar.”
“Laki-laki atau perempuan?”
“Laki-laki, pak.”
“Oke, tetap pantau kondisi anak
ini sampai kita menemukan identitasnya.”
“Siap, pak!”
Samar-samar
aku mendengar percakapan dua orang laki-laki. Aku tetap memejamkan mataku.
Khawatir jika tahu aku terjaga mereka malah berhenti berbicara. Mungkinkah korban yang ditemukan tewas di
tempat terjadinya ledakan itu adalah ibu?
"Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laailaaha illallahu Allahu
akbar. Allahu Akbar walillahilhamd...."
Suara takbir dari speaker masjid yang tak jauh dari gubuk
tempatku kini tinggal terus menggema melewati lorong-lorong gang, pos ronda,
pangkalan ojek, warung-warung kecil, hingga kerumah-rumah warga dusun kami.
Bocah-bocah kampung bersarung dan berkopiah tampak sangat antusias menyambut
Idul Fitri esok hari. Mereka memukul-mukul bedug dan kentongan dengan penuh
semangat, sekarang memang giliran mereka untuk "bersorak-sorak" di
masjid, sedangkan para bapak-bapak biasanya baru mulai
"bersorak-sorak" sekitar pukul sebelas malam.
"hoaammm..." aku
terbangun dari tidur. Bau sampah yang sudah seperti teman sendiri langsung
menyambut penciumanku.
Malam takbiran bagiku tidak
menarik, tidak seperti mereka kebanyakan yang menganggap hari raya Idul Fitri
adalah momen yang ditunggu-tunggu. Idul Fitri mengingatkanku pada peristiwa
paling pahit dalam sejarah hidupku. Bukan rasa senang dan bahagia yang aku
rasakan, bukan pula senyum dan tawa. Tapi sedih, kecewa, marah, dan air mata
yang selalu hadir ketika momen itu tiba. Ini berawal dari peristiwa 25 tahun
silam. Saat aku berusia enam tahun. Tabung gas di dapur rumah kami meledak
entah bagaimana. Dari ledakan tersebut terjadilah kebakaran masal. Api melahap
rumahku dan rumah-rumah tetanggaku. Mereka menyalahkanku atas kejadian itu.
Bahkan sampai saat ini. Seperti inikah yang disebut lebaran?
Dua puluh lima tahun yang lalu, Ibu
meninggalkanku menyusul ayah. Orang-orang kehilangan uang. Aku kehilangan ibu.
Orang-orang kehilangan tempat tinggal. Aku kehilangan ibu. Orang lain
kehilangan tempat tidur. Aku kehilangan ibu. Tubuhku pun penuh dengan bekas luka
bakar. Aku sangat kesepian. Tidak! Aku tidak boleh menangis. Aku harus tegar.
Aku harus kuat. Hari ini aku makan apa?
Uang hasil mengamen kemarin sudah habis,
uang hasil memulung plastik bekas pun sama nasibnya. Aku lapar.
"Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Laailaaha illallahu Allahu
akbar. Allahu Akbar walillahilhamd..."
Aku berjalan menyusuri jalan kampung
dengan pakaian yang bahkan aku lupa kapan terakhir kali dicuci. Melewati toko
sembako yang kini tutup karena pemiliknya mungkin sedang sibuk dengan persiapan
lebaran esok hari. Tapi aku tidak peduli. Toh tidak ada satupun yang
mempedulikanku. Pria kumuh dengan luka bakar disekujur tubuh. Satu-satunya hal
yang aku pikirkan sekarang adalah bagaimana perutku terisi makanan.
Seorang pria kumuh dengan luka
bakar disekujur tubuh berjalan dengan
langkah gontai menyusuri jalan kampung. Pakaiannya dekil tak karuan. Rambutnya
gondrong kusut masai. Tak ada yang peduli. Tak ada yang menyapa. Tak ada yang
menanyainya kabar. Nasibnya sama seperti sosok wanita tua yang kini sedang duduk
didepan emperan toko sembako yang tutup karena pemiliknya sibuk dengan
persiapan lebaran esok hari. Wanita itu terlihat begitu kumuh dan dekil.
Rambutnya kusut tak karuan. Wajahnya penuh luka bakar. Tak bisa dikenali.
Dengan suara lirih hampir tak terdengar ia berkata “anakku... kau dimana?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar