Pernah kalian merasakan suatu emosi karena melihat, mendengar, atau menyentuh sesuatu yang kalian suka atau sebaliknya? Dan ketika kalian melakukan ketiganya itu timbul lah emosi yang kuat dalam diri secara spontan. Ya, dewasa ini hal semacam itu dikenal keren dan gaul dengan sebutan 'baper', kata singkat dari 'bawa perasaan'. Entah siapa yang menciptakan istilah kekinian ini, yang pasti wujud kosakata 'baper' sendiri menimbulkan banyak pengaruh terutama di kalangan kawula muda (baca: remaja).
Sebagai mahasiswa sudah barang tentu saya sering mendengar istilah ini. Baper atau bawa perasaan adalah keadaan dimana seorang merasakan atau merespon sesuatu secara berlebihan. Contoh: Mahasiswi semester tiga yang mengidolakan seniornya sendiri, mahasiswa semester tujuh. Suatu hari mahasiswi tersebut berpapasan dengan kakak tingkat yang ia idolakan itu, tanpa disangka-sangka kakak tingkat itu tersenyum padanya. Sungguh sebuah moment langka baginya. Bahkan selama satu minggu mahasiswi itu selalu kepikiran tentang kejadian itu. Ia berpikir bahwa kakak tingkat itu suka padanya. Hanya karna dia tersenyum! Ya, ini lah yang disebut baper. Oh ya, ini berlaku bukan hanya ketika perasaan bahagia. Sebaliknya, ketika ada seorang karyawan yang ditegur oleh atasannya lalu karyawan tersebut memikirkan kejadian itu secara berlebih. Ia berpikir bahwa atasannya sangat membenci dirinya. Padahal belum tentu begitu, kan? Bisa saja atasannya melakukan hal itu demi kebaikan si karyawan agar bekerja lebih baik. Begitupun kasus pertama, bisa saja kakak tingkat itu hanya mencoba bersikap ramah terhadap mahasiswi tersebut.
Yang jadi masalah adalah penamaan istilah 'baper' itu sendiri. Apakah tepat? Seperti sudah saya katakan bahwa baper itu singkatan dari 'bawa perasaan'. Namun ketika kita ketahui maknanya secara general, akan terlihat ketidak cocokan antara keduanya. Antara nama dan makna itu sendiri. Setiap manusia tentu memiliki perasaan. Perasaan atau emosi merupakan bahan bakar manusia untuk mengolah pikiran menjadi sebuah sikap atau tindakan. Lalu, apa masalahnya jika bawa perasaan? Toh, perasaan pasti selalu muncul dalam benak manusia karena manusia diciptakan berperasaan bukan? Justru akan sangat aneh jika seorang manusia tidak memiliki perasaan. Jika ada manusia macam itu, pasti hilang lah akal sehatnya alias gila. Seandainya istilah ini diganti dengan 'bapeber' yang berarti 'bawa perasaan berlebih' saya rasa lebih tepat. Mengapa? Karena 'bawa perasaan' dengan 'bawa perasaan berlebih' adalah berbeda. Dengan penambahan kata 'berlebih' berarti menunjukkan ada yang tidak wajar. Bukankah segala sesuatu yang berlebihan itu tidak wajar?
Jadi siapa yang salah? Pencipta kata baper itu sendiri atau kita yang seolah-olah setuju dengan istilah ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar