Kamis, 28 Januari 2016

Kata-Kata Gaul dan Kekinian dalam Bahasa Inggris, nih!

Kalian anak gaul? kekinian? so pasti suka ngomong pake istilah-istilah yang lagi ngetrend, kan? misalnya kayak baper, alay, galau, kudet, dll... 
Gatau bahasa Inggrisnya? Wah jangan sampe kudet deh... Biar lebih keren dibanding temen-temen yang lain, coba deh istilah-istilah gaulnya pake bahasa Inggris. 
Tenang pemirsa, dibawah ini ada istilah-istilah gaul dan kekinian dalam bahasa Inggris yang lagi ngetrend. So cekidot!


#Alay/Lebay/Berlebihan
1. Jangan alay, ah! : Don't react too much!
2. Dia mah lebay      : He is overacting/exaggerating

#Ababil (ABG Labil)
1. Dia mah masih ababil: She is gullible teenager.
2. Jangan kayak ababil, donk!: Don't be like an unstable teenager!
3. Dasar pelajar ababil. Kerjaannya tawuran melulu: What an unstable student! They're always fighting to each others.
4. Gila lo, bikin status FB kayak gituan? Udah kayak ababil aja: You're nuts. You made such an FB status? just like an unstable teenager.

#Agan
1. Hai gan, kemana aja lo? : Hi pal, where have you been?
2. Hai gan, lama gak ketemu nih : Hi dude, long time no see.

#Boam (Bodo Amat)
1. Boam deh. Itu mah bukan urusan gue: I don't care, it's none of my business.
2. Boam dah sama semua yang lo omongin: The hell with whatever you say.
3. Boam sama cewek itu. Emangnya gua pikirin!: I don't care with that girl. I never think of her.

#Capcus
1. Capcus ya: Quickly / Hurry up / shake it up.
2. Yuk ah, capcus!: Let's go immediately!
3. Ayolah capcus!: Come on !
4. Capcus donk! dah hampir telat nih: Hurry up, please! it's almost late.
5. Capcus donk! mereka udah nunggu tuh: Please make a haste. They are waiting.

#Cetar
1. Digituin aja biar cetar: Do it way, so it look suprising.
2. Kurang cetar ah: It's not bombastic enough.
3. Gila! cetar banget: Wow! it's so amazing.

#Baper
1. Gausah baper deh: Don't take it into your heart!
2. Dia mah orangnya baperan: She is a very sensitive girl. 

#Masbuloh (Masalah Buat Loh?)
1. Terus, masbuloh gitu?: So, is that a problem for you?
2. Kalo gue gak bisa maenin game ini kenapa emangnya? Masbuloh?: If I can't play this game, so what? Is that a problem for you?

#Mager (Males Gerak)
1. Lagi mager nih: I am so lazy to do anything.

#Ciyus (Serius)
 1. Ciyus loe?: Are you serious?
 2. Gue ciyus nih: I mean it.
#Curcol (Curhat Colongan)
1. Dia sering curcol sama gue: He often confides in me secretly.
2. Lagi curcol ya?: Are you sharing your feelings secretly?

#Galau
1. Udah, gak usah galau gitu!: Come on, don't let it make you down!
2. Lagi galau nih: I am upset / I am feeling blue.
3. Dia bikin gue galau: She makes me feel blue.
4. Apa yang bikin lo galau? What has made you anxious?
5. Buat yang lagi galau, waktunya senang-senang nih!: For those who are upset, it's time to have fun!

#Geje (Gak Jelas)
1. Jadi orang jangan geje, donk!: Don't be a lenient person!
2. Geje ah!: It's absurd!
3. Bener-bener geje!: It's completely unclear!
4, Orang itu geje banget sih!: He is so annoying!

#Kece
1. Cowok itu kece banget sih: That boy is so cute / handsome!
2. Biar kece, lo harus pake ini deh: To look stunning, you have to wear this.
3. Kalau gitu caranya, ga kece kan?: If that's the way, it isn't cool, is it?
4. Itu kece banget!: It's awesome!


#Kepo
1. Dia tuh orangnya kepo banget, nanya melulu: She is a nosy parker, always asking too many questions.
2. Jangan kepo!: Don't ask too many questions! / Don't be anxious!

#Kudet (Kurang Update)
1. Aku tuh agak kudet: I am not really updated.

#Lemot
1. Jaringannya lemot banget!: The internet connection is so slow!
2. Dasar lemot!: Snail!
3. Jadi orang jangan lemot, donk!: Don't be a slow person!

#Lola
1. Orangnya agak lola: It's hard to him to understand things quickly.
2. Nyebelin banget! internetnya lola: It really sucks! The internet loading process is so slow.
3. Lola banget lo! dari tadi gak ngerti-ngerti gue ngomong apa: You're so slow. I have talked you again and again, but you don't get the point.

#Narsis
1. Jangan narsis deh!: Don't admire yourself too much!
2. Dasar narsis!: You're such a narcissist!
3. Dia mah narsis abis: She is so narcissistic.

#Pe'a (Pendek Akal)
1. Dia pea banget sih: He's moron.
2. Pea lo!: You're moron! / You're stupid! / You're idiot!
3. Siswa baru itu kayaknya pea deh: That new students seems stupid.

#PW (Posisi Wuenak)
1. Aku gak mau pindah, udah pw di Bandung: I don't wanna move. I've already got a comfortable life in Bandung.
2. Dia mah udah pw: He's got a good position / job.

#Rempong
1. Pokoknya rempong deh!: It's so complicated!
2. Cewek itu rempong banget dah!: That girl is so difficult.
3. Aduh, rempong banget sih ngeliat lo bawa belanjaan banyak gitu: It's so disturbing to see you with all your stuffs.

#Sotoy
1. Jangan sotoy!: Don't be a smart ass!
2. Dia agak sotoy orangnya: He acts as if he knows everything.
3. Lo tau darimana? Sotoy lo!: How did you know it? You're such a know-it-all.
4. Gua gak suka cewek itu. Sotoy banget: I don't like that girl. A sort of smart aleck.
#Suka Ngadu
1. Dia suka ngadu ke guru. Nyebelin!: She often has a bone to pick with the teacher. Really annoying!
2. Dia sukanya ngadu domba: He always plays one against the other.

#Termehek-Mehek
1. Dia bikin kamu termehek-mehek ya?: He makes you crazy, doesn't he?
2. Jadi termehek-mehek: It makes me deeply touched.
3. Liat anak kecil itu! Dia dah nangis termehek-mehek lama banget: Look at that kid! he's cried for such a long time.

#Spik (Omong Kosong)
1. Itu mah cuma spik: It's only bullshit.
2. Dia tuh cuma spik aja: He only lies / He is not really serious.
3. Lo bilang punya 5 pacar? spik banget!: You said you have 5 girlfriends? A big liar!
  
#Unyu
1. Bayinya unyu banget: The baby's so cute.
2. Dia tuh orangnya unyu banget: He is such a funny guy.
3. Dia masih unyu-unyu: She's so young.

#Woles
1. Woles aja deh: Just relax.
2. Dia tuh orangnya woles banget: He's so easygoing.
3. Gak usah cemas bro, woles ajalah: Don't worry, dude, just stay cool.
4. Woles aja! dia udah gak bete lagi sama kamu kok: Take it easy, man! She is not mad at you anymore.

Rabu, 20 Januari 2016

8 Cara Ampuh Menghilangkan Rasa Bosan

Setiap orang pernah ngerasain puncaknya rasa jenuh alias bosen banget. Gua sering banget ngalamin kayak gini. Dalam beberapa kasus, rasa bosen itu diakibatkan aktivitas kita sehari-hari yang itu-itu aja alias monoton. Gua juga gitu kok...

Sebelumnya gua mau ngasih gambaran dulu kalo gua ini mahasiswa Sastra Inggris di salah satu Universitas Negeri di Bandung yang setiap hari ga lepas dari yang namanya tugas. Pokonya tugas itu udah kayak jajanan sehari-hari. Tipikal tugas yang dikasih dosen itu: 
1. Banyak
2. Berlembar-lembar
3. Syaratnya macem-macem
4. Kebanyakan full English
5. Nyusahin mahasiswa
Yaa.. itulah pokoknya.

Disini gua bukannya benci dengan status gua sebagai mahasiswa ya.. Tapi gua ngerasa jenuh aja sama rutinitas gua sehari-hari yang itu-itu melulu.
Untungnya gua kebantu sama UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang gua ikutin. Iya, gua anggota PSM (Paduan Suara Mahasiswa) yang setiap malemnya latihan terus (kecuali weekend). Tapi ga selamanya ikut kegiatan ini membunuh rasa bosan, emang gua disini dapet banyak ilmu dan pengalaman (tampil di event-event internal dan eksternal kampus, ikut perlombaan, dll) namun disisi lain dengan padatnya jadwal (siang ngampus, malem latihan padus) bikin gua capek dan keteteran dalam beberapa hal. Yang paling kerasa itu manajemen waktu. Gua harus ngatur sedemikian rupa kapan gua ngerjain tugas, kapan gua rapat organisasi PSM, kapan gua latihan PSM, kapan gua ngelakuin hal-hal privasi, kapan gua nyuci baju, kapan gua nyetrika baju, kapan gua refreshing. Yang terakhir bahkan hampir gak ada dalam kamus kehidupan gua (ciye elah). Tapi emang kenyataan lho!

Dan ternyata rasa bosan yang berkelanjutan ini merupakan ancaman serius, guys!
menurut salah satu artikel yang gua baca di tempointeraktif.com, para peneliti mengungkapkan bahwa seseorang yang mengeluh bosan beresiko mati muda dan mereka yang mengalami kebosanan tingkat tinggi lebih beresiko meninggal karena penyakit jantung atau stroke dibanding mereka yang puas dengan nasib mereka. Wah ternyata efek sampingnya serem banget ya, ckckck...

Sebagai manusia yang dianugerahi dengan akal dan pikiran sudah meenjadi kewajiban kita untuk memecahkan setiap masalah yang kita hadapi, bukan menghindarinya. Setiap masalah memiliki jalan keluar begitu pun dengan rasa bosan yang acapkali dirasakan oleh kita. Lalu bagaimana cara mengatasinya?


1. Merenung dalam Diam

Coba luangkan waktu sedikit saja untuk merenung dan buatlah pertanyaan apa saja menyangkut diri kita seperti apa yang sudah kita perbuat terhadap diri sendiri dan orang-orang disekitar kita. Apakah kita sudah melakukan hal-hal yang baik kepada mereka? atau justru sebaliknya? apakah keberadaan kita berdampak positif bagi orang-orang di sekitar kita? atau malah sebaliknya? coba renungkan hal-hal semacam ini. Buat pertanyaan sebanyak mungkin setelah itu jawablah pertanyaan itu dengan jujur tanpa ada yang ditutup-tutupi.


2. Lakukanlah Segala Sesuatu Semata-mata hanya untuk Mengharap Ridho-Nya

Janganlah merasa diri kita yang paling hebat sehingga segala sesuatu yang kita lakukan hanya ditujukan untuk kepentingan pribadi. Contoh, saya belajar dengan giat karena saya ingin mendapat nilai paling bagus di kelas. Hal ini memang tidak salah, namun alangkah lebih baiknya jika niat kita belajar hanya untuk mengharap ridho Tuhan, sehingga apa pun hasilnya kita terima dengan lapang dada, namun bukan berarti kita pasrah begitu saja. Ingat! Tuhan menganugerahkan kita akal dan tubuh yang sehat bukan untuk bermalas-malasan!


3. Lakukan Hal Baru

Hal utama yang membuat kita selalu merasa bosan adalah keseharian kita yang diisi dengan hal-hal yang sama setiap harinya. Sehari-hari melakukan aktivitas yang itu-itu saja membuat kita selalu merasa bosan. Karena itu, coba lakukan hal baru. Hal baru yang dimaksudkan disini adalah hal yang sebelumnya tidak biasa Anda lakukan. Misalnya, keseharian Anda yang lebih sering diisi dengan kesibukan sekolah/kuliah dengan aktivitas harian lainnya yang sudah menjadi ‘jadwal’ tetap keseharian Anda, tambahkan hal baru ke dalam jadwal harian Anda yang senang Anda lakukan. Contohnya seperti menambahkan jadwal untuk sekedar ber-olahraga ringan seperti jogging atau pun senam setiap pagi sebelum Anda memulai aktivitas atau pun setiap sore setelah Anda pulang dari sekolah atau pun kampus. Intinya, lakukan hal baru yang Anda suka dan mampu Anda lakukan dalam keseharian Anda untuk mengatasi rasa bosan dalam keseharian Anda.

4. Kembangkan Bakat yang Kita Miliki

Kebanyakan kita mungkin tidak tahu betul apa-apa saja bakat yang sebenarnya telah tumbuh dalam diri kita. Misalnya bakat dalam ber-olahraga, bakat dalam bermusik, menulis, melukis, dan sebagainya. Mungkin dari semua yang telah disebutkan tadi, Anda pasti menyukai dan mampu melakukan salah satu atau beberapa dari hal-hal tersebut. Kalau Anda suka dan mampu bermain gitar, kembangkan-lah bakat Anda dalam bermain gitar atau mungkin dalam hal bermusik lainnya. Misalnya Anda suka dan mampu bermain sepakbola, menulis di blog, melukis pemandangan, membuat robot, dan sebagainya maka kembangkan-lah hal-hal tersebut karena mungkin disitu-lah bakat Anda. Jadi, kembangkan bakat yang ada dalam diri Anda sehingga Anda menjadi terbiasa dan mungkin ahli dalam setiap bakat yang Anda punya. Kembangkan bakat yang ada dalam diri Anda dapat mengatasi rasa bosan yang Anda alami dalam keseharian.


5. Cari Suasana Baru

Suasana yang begitu-begitu saja merupakan salah satu penyebab utama timbulnya rasa bosan. Cari suasana baru misalnya pergi ke tempat-tempat yang sebelumnya jarang atau tidak pernah Anda kunjungi sebelumnya. Suasana baru sangat dapat diharapkan dan menjadi salah satu cara untuk mengatasi rasa bosan. Suasana baru dapat menyegarkan pikiran, memberikan ketenangan dan kenyamanan, serta segala hal lain yang membuat keseharian kita lebih bervariasi ketimbang melakukan aktivitas yang sama setiap harinya. Cari suasana baru merupakan cara lain dalam mengatasi rasa bosan yang ada.


6. Jangan Tinggalkan Hobi

Kita semua pasti memiliki hobi. Apapun hobi yang kita punya pasti merupakan hal yang kita sukai. Agar Anda tidak merasakan kebosanan dalam aktivitas-aktivitas harian Anda, jangan pernah tinggalkan hobi Anda. Hobi yang kita punya adalah ‘sarana’ untuk mendapatkan kesenangan dan pasti enjoy dengan hobi yang kita punya. Bila Anda hobi dengan bermain musik, maka bermain musik-lah apapun jenis musik dan alat musik yang Anda sukai. Bila Anda hobi ber-olahraga, lakukan-lah olahraga apapun yang Anda sukai dan jangan tinggalkan hobi yang Anda punya asal jangan hobi dalam hal yang negatif dan melanggar aturan. Cara lain dalam mengatasi rasa bosan dapat Anda lakukan dengan hobi-hobi yang Anda punya dan jangan tinggalkan hobi-hobi Anda tersebut.


7. Cintai Aktivitas yang dilakukan

Kadang kita merasa bosan menjalani aktivitas karena kita tidak mencintai aktivitas yang dilakukan. Kadang kita melakukan aktivitas karena ada kata ‘terpaksa’ dalam pelaksanaannya. Aktivitas dapat terasa menyenangkan bila kita menyukai apa yang kita lakukan. Maka, cintai aktivitas yang dilakukan. Mencintai aktivitas yang dilakukan berarti kita senang dan nyaman dalam menjalani setiap aktivitas dalam keseharian kita. Kata ‘bosan’ itu pun dapat diatasi bahkan dilenyapkan bila kita bisa mencintai aktivitas yang kita lakukan. Senang dengan aktivitas yang dilakukan, nyaman dengan aktivitas tersebut, dan bangga dengan aktivitas yang dilakukan berarti kita tidak akan bosan dengan aktivitas keseharian kita. Dengan mencintai aktivitas yang dilakukan berarti kita mampu mengatasi rasa bosan.


8. Bersyukur dan Bertaubat

Seringkali kita lupa bahwa segala sesuatu yang kita lakukan dan kita miliki semuanya terjadi karena kehendak Tuhan. Juga betapa lalainya kita sehingga sering melakukan hal-hal yang dilarang olehNya. Oleh karena itu, perbanyak rasa syukur dan bertaubat adalah cara ampuh untuk mengatasai kegelisahan yang kita rasakan disaat bosan dan jenuh. Jangan sampai rasa bosan itu menjerumuskan kita kepada hal-hal yang negatif. 

Semoga rasa bosan teman-teman menjadi sebuah cambukan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Jangan lupa tersenyum dan selalu tebarkan aura positif kepada orang-orang di sekitar kita! Keep calm and enjoy your life... :)

Rabu, 13 Januari 2016

100 Fakta Tentang Park Shin Hye


Well.. Kenapa harus Park Shin Hye?
Pertama kali gue ngeilat doi di drakor "Pinocchio" gua langsung tertarik, ngefans, jatuh cinta sama doi (?)
Cantik, manis, cute, kalem, baik, enak diliat, ga ngebosenin, hahadoooohhhh :v 
Gue suka banget sama karakternya, aktingnya, auranya, senyumnya, ketawanya, nangisnya, ngambeknya, marahnya, pembawaannya, outfitnya, cara ngomongnya, tatapan matanya... uhhhhhhhh parah parah parah!
Anjirlah kapan gua bisa ketemu sama lo, (beb)?

Ketika gadis cantik satu ini melakukan wawancara tentang kehidupannya dalam sebuah acara talk show.. Yang sengaja diadakan untuk para fans lebih mengetahui keidupan para artisnya .. Ada 100 pertanyaan yang diajukan oleh sebuah acara talk show tentang kehiduoan gadis cantik satu ini .. Yuk kita lihat apa sih pertanyaannya:
                     
1. Nama ? Park Shin-hye
2. Tanggal lahir ? 18 Februari 1990
3. Tempat lahir ? Gwangju, Korea
4. Tinggi Anda sekarang per-September 2010 ? Sekitar 168 cm
5. Ukuran sepatu ? 235
6. Rahasia tentang tubuh Anda sendiri? Tidak ada yang bisa kupikirkan tentang itu
7. Nickname ketika Anda masih muda ? Shin-ji, atau hanya Shin-hye
8. Impian sebagai seorang anak? Polwan
9. Satu kata untuk menggambarkan karakter Anda ? Cute ~
10. Musim favorit ? Aku suka semua musim
11. Artis yang paling Anda hormati ? -
12. 10 tahun kemudian, apa yang akan Anda lakukan ? Masih berdiri di depan kamera
13. Kapan Anda ingin menikah ? Sebelum aku 30
14. Berapa banyak anak-anak yang Anda inginkan ? 4
15. Anda ingin menjadi Ibu macam apa ? Seorang ibu seperti teman, seorang ibu tanpa sesuatu yang buruk untuk disembunyikan dari anak-anaknya
16. Bagian mana dari tubuh Anda yang Anda pikir adalah yang paling menarik ? Mata
17. Lagu yang sering Anda nyanyikan di karaoke ? Tidak pernah benar-benar bernyanyi di karaoke
18. Merek favorit ? Paulus dan Alice
19. Item fashion favorit?
Topi dan sepatu olahraga
20. Hal-hal yang Anda pikir tidak baik ? Hal-hal yang tidak berarti
21. Apa yang ada di pikiran Anda sekarang ? Ingin melihat Bongji dan Nori
22. Apa yang paling Anda inginkan sekarang? laptop
23. Warna ponsel Anda ? Putih
24. Ringtone ? Lagu Hongstar (FT Island) “Love Love”
25. Wallpaper ponsel? Foto tidur anjingku
26. Apa yang Anda lakukan ketika Anda bangun di pagi hari ? Minum secangkir air
27. Apa yang Anda lakukan sebelum tidur? Matikan lampu
28. Apa yang Anda pakai saat Anda tidur ? T-shirt dan celana pendek
29. Bagian baik tentang menjadi seorang seniman? Aku bisa mengalami hal-hal dalam kehidupan yang pernah kualami
30. Jika Anda dapat kembali ke masa lalu, kapan Anda ingin kembali ? Aku hanya ingin memiliki kenangan yang kumiliki sekarang
31. Hewan favorit ? Anjing, kucing, aku suka semua hewan
32. Kutipan hidup Anda ? “Pikirkan orang lain daripada hanya memikirkan diri sendiri”
33. Jika Anda diberi libur seminggu 1, apa yang akan Anda lakukan ? Tinggal di kamar
34. Apa yang telah kamu dengar dari orang-orang di sekitar Anda baru-baru ini yang membuat Anda bahagia? “Anda telah menjadi lebih cantik”
35. Sebuah pertanyaan yang selalu ditanyakan pada Anda ? “Apa motif Anda menjadi seorang seniman?”
36. Tentang godaan cinta Anda ? Hmm … tidak benar-benar tahu arti “cinta menggoda”
37. Tipe ideal ? Aku tidak tahu bagaimana mendefinisikannya .. Pass
38. Pernahkah Anda bertemu orang seperti itu sejauh ini? Aku tidak bisa mengatakannya ah
39. Bagaimana Anda memberitahu seseorang bahwa Anda menyukainya? Surat? Telepon? Email? muka dengan muka? Email …
40. Ciuman menggoda ? Ahh tolong jangan tanyakan ~
41. Lokasi pernikahan? Outdoor, taman
42. Jika Anda memenangkan lotre dari 1 juta yen, apa yang akan Anda lakukan?Membangun sebuah bangunan? … Semacam hal tentang realistis …

43. Jika Anda diminta untuk menjaga hewan peliharaan, apa yang akan Anda dapatkan? Anjing daebak (yang terbaik)!
44. Macam apa nama hewan peliharaan yang akan Anda berikan? Bongji dan Nori
45. Genre film favorit ? Semua!
46. Olahraga yang Anda lakukan dengan baik ? Bowling dan renang
47. Apa pembelian terakhir Anda dari Jepang ? Snack Hiyoko
48. Apa yang mengganggu anda belakangan ini ? Ketika shceduleku sangat, sangat padat
49. Saya seperti jenius “-! Apakah Anda pernah memikirkan sesuatu seperti itu ? Mm …
50. Apa yang Anda dengarkan ketika Anda tidak berminat ? “The Cayman islands”nya Kings of Convenience
51. Warna favorit ? Putih, hitam, merah
52. Kata-kata favorit ? Hah …?
53. Obsesi baru-baru ini ? Mempersiapkan drama baruku
54. Makanan favorit ? Apa-apa dengan kimchi
55. Sedikitnya makanan favorit ? Obat seperti makanan laut
56. Minuman alkohol favorit ? Satu gelas bir ?
57. Apa parfum yang Anda gunakan? Jennifer Lopez
58. Babi atau kelinci ? Kelinci
59. Mengapa ? Karena aku sangat suka kelinci
60. Bagaimana perasaan Anda ketika Anda pertama kali mendengar tentang “ANJELL”? “Keke” tertawa * *
61. Orang yang Anda hormati ? -
62. Anggota keluarga ? Ayah, ibu, saudara, aku
63. Apakah Anda lebih mirip ibu atau ayah ? Setengah-setengah
64. Apakah keluarga Anda memanggil Anda? “Tanglanggu” (artinya putri berharga / kebanggaanku)
65. Yang terkenal dari tempat kelahiran Anda ? Gandum-beras Gwangju!
66. Apa yang Anda siapkan sekarang ? Hayate Combat butler
67. Ketika berdebat, Anda akan menjadi yang pertama untuk minta maaf ?Tergantung pada situasi
68. Baru-baru ini menangis ? 3 hari lalu
69. Alasan ? Marah dengan diriku sendiri
70. Dibandingkan dengan 3 lainnya di ANJELL, hal pertama yang melintasi pikiran anda tentang diri sendiri adalah ? Mata besar ? * Haha *
71. Liburan musim panas, gunung atau pantai ? Tepi laut
72. Saat paling bahagia dalam hidup ? Bongji melahirkan bayi. Semua orang sehat
73. Paling menyentuh saat-saat dalam hidup ? Ketika karyaku berhasil diselesaikan
74. Saat paling menyedihkan dalam hidup ? Ketika ditinggalkan orang-orang tercinta
75. Kegagalan terbesar dalam hidup ? Tak satupun
76. Memori awal Anda ? Ketika aku masih 4 tahun, ibuku meninggalkan aku samping dan berlari setelah anak anjing
77. Bagian tubuh favorit Anda ? Mata
78. Yang terakhir dari bagian tubuh favorit ? Aku suka tubuhku ..
79. Tempat yang paling Anda ingin kunjungi sekarang ? Yunani
80. Apa yang Anda lakukan sehari-hari? Minum secangkir air di pagi hari
81. Saat – saat malang ? Jatuh sakit ketika ada sesuatu yang penting untuk dilakukan
82. Best subjek? Hangul
83. Subjek terburuk ? Matematika
84. Apa yang biasanya muncul pada kartu laporan Anda ? “Hubungan Shin-hye dengan teman – teman sangat baik”
85. Aktivitas berpartisipasi di sekolah ? Tak satupun
86. Izin mengemudi ? Mendapat izin pada bulan Juli 2010, sebelum syuting “You’re Beautiful, tetapi mendapat lisensiku baru-baru ini setelah film “Cyrano Agency”
87. Hal-hal yang Anda lakukan dengan baik ? Dancing?
88. Item paling membanggakan di kamar anda ? Bongji dan Nori
89. Item favorit sebagai anak-anak ? Hm …
90. Item yang Anda harus bawa setiap hari? Dompet
91. Lagu favorit Anda belakangan ini ? Hongstar “Love, Love, Love”
92. Saat NG yang paling Anda sudah dapatkan sejauh ini? Aku tidak terlalu yakin …
93. Teman Artis ? Renai Jang (Jang Geun-seok), Hongstar (Lee Hong-ki), Jung Bolmae (Jung Yong-hwa)
94. Jika Anda membuat “100 pertanyaan” untuk diri sendiri, apa yang akan Anda tanyakan ? Anneonghaseyo?
95. Balas ? Hello!
96. Satu kalimat untuk menggambarkan Jang Geun-seok ? Seperti Renaissance
97. Satu kalimat untuk menggambarkan Hongstar ? Jeremy ~ ~ ~
98. Satu kalimat untuk menggambarkan Jung Yong-hwa? Dia pemain pranks yang konyol
99. Di mana Anda menulis kuesioner ini ? Rumah
100. Apa yang akan Anda lakukan setelah ini ? Tidur

Anglophonic Literature dalam Cerpen "The Will of Allah" dan "Civil Peace"


Mengenal apa itu Anglophonic Literature from Africa
            Anglophonic Literature adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris dan berada di daerah bekas jajahan Britania Raya. Contohnya dalam cerpen The Will of Allah dan Civil Peace yang memiliki latar di salah satu daerah di Afrika. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Afrika merupakan bekas jajahan Inggris.
            Tidak menutup kemungkinan karya sastra tersebut memiliki keterkaitan secara historis dengan Britania Raya dan mengadopsi karya-karya sastra dari Inggris itu sendiri dalam hal teknik penulisan. 
            Kami kan membahas tentang  The Will of Allah karya David Owoleye dan Civil Peace karya Chinua Achebe yang merupakan termasuk dalam Anglophonic Literature from Africa dari mulai unsur intrinsik, Simbolisme, Historical context, dan pesan moral yang terkandung dalam kedua cerpen ini.
           


Unsur Intrinsik dalam Cerpen The Will of Allah
            Cerpen karya David Owoyele ini memiliki unsur spiritual yang kental. Dilihat dari judulnya saja kita bisa menyimpulkan demikian. Menceritakan dua sekawan bernama Sule dan Dogo. Mereka adalah pencuri yang sudah berpengalaman dalam bidangnya. Sudah berapa rumah yang mereka singgahi dan sudah berapa korban yang mereka kecewakan.
Sule digambarkan sebagai tokoh yang lebih dominan dibandingkan tokoh Dogo. Terlepas dari profesinya sebagai pencuri, Sule merupakan sosok yang agamis. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut: A darting tongue of lightning lit up the overcast sky for a second. Sule glanced up. 'Sure it looks like rain. But you do not say: It will rain. You are only a mortal. You only say: If it is the will of Allah, it will rain.' Sule was a deeply religious man, according to his lights. His religion forbade being dogmatic or prophetic about the future, about anything. His fear of Allah was quite genuine. It was his firm conviction that Allah left the question of a means of livelihood for each man to decide for himself. Allah, he was sure, gives some people more than they need so that others with too little could help themselves to some of it. It could certainly not be the intention of Allah that some stomachs remain empty while others are overstuffed. Kita bisa mengetahui bahwa Sule adalah sosok yang taat dalam beragama dari segi narrative dan dramatic (dialog). Berbeda dengan Sule, Dogo merupakan sosok yang berpostur pendek, memiliki sifat yang lugu dan menyebalkan. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut: 'How can you be sure?' 'Sure?' said Dogo, annoyance and impatience in his voice. Dogo is the local word for tall. This man was thickset, short and squat, anything but tall.
Hal menarik yang terdapat dalam cerpen ini adalah keteguhan hati Sule dalam memegang prinsip bahwa tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah. Ada dialog dimana Sule dihakimi di pengadilan karena ketahuan mencuri dan ia menjawab pertanyaan hakim dengan jawaban yang nyeleneh tetapi benar dan membuat hakim bingung. Seperti dalam kutipan You and your type constitute a threat to life and property and this court will always see to it that you get your just deserts, according to the Law.' The judge had then fixed him with a stern gaze, which Sule coolly returned: he had stared into too many so- called judges' eyes to be easily intimidated. Besides, he feared no-thing and no one except Allah. The judge thrust his legal chin forward. 'Do you never pause to consider that the road of crime leads only to frustration, punishment and suffering? You look fit enough for anything. Why don't you try your hand at earning an honest living for a change?' Sule had shrugged his broad shoulders. 'I earn my living the only way I know,' he said. 'The only way I've chosen.
Cerpen ini memiliki sudut pandang orang ketiga dimana sang narator memperlakukan kedua tkoh utama dalam cerpen ini dengan adil. Kedua tokoh ini dimunculkan sisi baik dan buruk mereka dengan jelas.
Adapun alur yang terdapat pada cerpen ini adalah maju-mundur-maju. Ini dibuktikan dengan pembuka yang menggambarkan keadaan mereka pada saat itu yaitu pada malam hari yang diterangi bulan, seketika itu cuaca berubah menjadi mendung. Lalu dilanjutkan dengan alur mundur yaitu ketika Sule disidang oleh hakim di pengadilan karena kasus pencurian. Itu merupakan penggambaran betapa seringnya Sule keluar masuk bui dan ia sudah menganggap penjara seperti rumahnya sendiri. Setelah itu, alur kembali maju yaitu ketika mereka menyebrangi sungai menuju pemukiman warga untuk mencuri.


Simbolisme dalam Cerpen The Will of Allah
Cerita ini juga memiliki berbagai simbol yang bisa kita interpretasikan. Adapun simbol-simbol yang terdapat dalam cerpen ini yaitu:
a.       Sosok Sule: merupakan simbol keberanian dan sosok manusia pada kehidupan nyata yang memiliki dua sisi berlawanan, baik dan buruk.
b.      Sosok Dogo: merupakan simbol keluguan. Dalam sikap lugu dari tokoh Dogo menggambarkan hakikat manusia yang jauh dari sempurna.
c.       Hujan dan kematian: menggambarkan suatu kejadian atau tragedi yang bisa terjadi kapan saja tanpa diduga-duga oleh manusia. Dalam cerpen ini hujan diinterpretasikan sebagai kematian kedua tokoh tersebut.
d.      Ular dan malam: Ular disini diartikan sebagai orang Afrika itu sendiri. Kami menginterpretasikan bahwa penulis berusaha menyampaikan pesan kepada para pembaca bahwa bangsa Afrika merupakan bangsa kulit hitam yang gelap dan membahayakan. Oleh karena itu, janganlah menganggap remeh orang Afrika. Adapun malam disini adalah simbol dari warna kulit orang Afrika yaitu hitam. 


Historical Context
            Cerita ini berkaitan dengan kondisi di Afrika pada saat itu yaitu maraknya tindak kriminal seperti pencurian. Hal ini dikarenakan faktor sosial dan ekonomi pasca perang Afrika dimana tingkat kemiskinan disana sangatlah tinggi.


Pesan Moral
            The Will of Allah mengajarkan kepada kita bahwa manusia tak ada yang sempurna. Dan segala sesuatu yang tak terduga oleh kita bisa saja terjadi atas kehendak Tuhan. Oleh karena itu janganlah takut kepada siapapun dan apapun melainkan hanya kepada Tuhan.



Unsur Intrinsik dalam Cerpen Civil Peace
            Cerpen ini menceritakan seorang lelaki bernama Jonathan yang sangat beruntung karena istri dan anak-anaknya selamat pasca perang Nigeria yang terjadi pada saat itu. Ia sangat bersyukur karena selain keluarganya masih hidup ia juga masih memiliki harta peninggalan yang menurutnya masih sangat berharga seperti sepeda tua dan rumahnya yang sudah reot. Setelah perang terjadi ia betahan hidup dengan berbagai cara seperti membuka bar untuk para tentara, istrinya menjual kue dan anak-anaknya menjual buah mangga. Disini dapat kita lihat bahwa tokoh Jonathan dan keluarganya memiliki sifat optimis, pekerja keras, dan tidak  mudah putus asa. Jonathan dan keluarganya tidak melihat apa yang terjadi pasca perang sebagai sebuah bencana akan tetapi mereka melihat itu sebagai peluang dan cambukan untuk mengubah nasib mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ini bisa dibuktikan dengan semangat kerja mereka dalam mencari uang dan merenovasi rumah mereka dengan berbagai cara. Diceritakan pula para pemerintah dan tentara yang pada saat itu cenderung lebih mementingkan diri mereka sendiri dibanding rakyat  sehingga Jonathan sendiri tidak percaya akan para officers tersebut. Ini dibuktikan dengan adanya kutipan yang menyatakan bahwa mengucapkan salam kepada para pasukan militer tidaklah perlu. Di dalam cerpen ini juga terdapat tokoh pencuri yang memaksa Jonathan memberikan uang pada malam hari. Mengapa para pencuri tersebut memilih keluarga Jonathan sebagai alasan? Jawabannya tentu saja bahwa Jonathan dan keluarganya dikenal sebagai para pekerja keras yang membuka berbagai usaha demi menyambung hidup. Karena pada saat itu sedikit sekali orang yang mau berusaha untuk memperbaiki nasib disebabkan oleh trauma perang itu sendiri. Saat kasus pencurian itu diketahui banyak orang, tidak satu pun orang yang benar-benar membantunya, baik itu polisi, pemerintah, maupun para tetangganya. Para tetangganya digambarkan dalam cerpen ini hanya merasa simpati kepada Jonathan tanpa berbuat apa-apa. Dan ketika malam dimana pencuri memaksa Jonathan untuk memberikan uang kepada mereka, Jonathan memanggil-manggil polisi dengan suara lantang tetapi para pencuri tersebut tertawa mengejeknya. Berarti ini menunjukkan bahwa para pencuri tidaklah takut dan khawatir akan orang yang mendengar teriakan Jonathan karena mereka tahu tak akan ada seorang pun yang peduli terhadap teriakan Jonathan.
            Sudut pandang dalam cerpen ini adalah orang ketiga serba tahu. Dilihat dari cara penulisannya sang narator merupakan seorang wartawan atau seseorang yang banyak tahu tentang konflik yang terjadi pada masa itu. Tidak menutup kemungkinan juga sang narator mengalami sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh Jonathan dalam cerpen ini.
            Alur dalam cerpen ini yaitu maju. Karena dalam cerpen ini tidak menampilkan kejadian di masa lalu. Hanya lebih kepada kronologi kehidupan Jonathan dari pasca perang hingga setelahnya. Dari gaya bahasa, cerpen ini mengandung unsur jurnalistik dimana para tokoh dan latar diceritakan secara detail dan memiliki ciri khas masing-masing sehingga menjadi semacam informasi baru kepada pembaca dan menarik untuk disimak.


Simbolisme dalam Cerpen Civil Peace
            Dalam cerpen ini terdapat simbol-simbol yang bisa kita interpretasikan. Adapun simbol-simbol tersebut yaitu:
a.       Jonathan: Diartikan sebagai rasa semangat, kerja keras, dan optimisme
b.      Istri dan anak-anak: Diartikan sebagai bentuk kesetiaan, kasih sayang, dan penyemangat
c.       Pemerintah dan tentara: Diartikan sebagai kesombongan, keangkuhan, dan apatisme terhadap rakyat jelata
d.      Pencuri: Diartikan sebagai kejahatan, ketamakan akan harta, dan hal-hal buruk yang bisa terjadi kapan saja
e.       Tetangga: Diartikan sebagai rasa peduli yang tak dibarengi dengan perbuatan
f.       Perang: Diartikan sebagai kehidupan dunia yang keras
g.      Sepeda tua: Diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan patut untuk disyukuri

           
Historical Context
            Cerpen ini ditulis setelah perang Nigeria dimana perang tersebut memiliki pengaruh sosial dan ekonomi terhadap warga Nigeria pada saat itu. Banyak keluarga mereka yang mati dan rumah mereka hancur akibat perang itu. Sebagian dari mereka berputus asa, tapi sebagian dari mereka juga memiliki rasa semangat untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.


Pesan Moral
            Civil Peace mengajarkan kita untuk selalu bersikap optimis dalam situasi apapun termasuk ketika dalam kesulitan. Karena segala sesuatu memiliki resikonya sendiri. Yang harus kita lakukan adalah menghadapi masalah tersebut dan menyelesaikannya secara baik-baik tanpa menghindarinya. Karena sikap optimis dapat mengubah diri seseorang menjadi sosok yang lebih penyabar dan bersemangat. Orang bijak adalah orang yang melihat suatu masalah sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan.      



  
KESIMPULAN

            Cerpen The Will of Allah dan Civil Peace merupakan contoh karya sastra Anglophonic dari Afrika yang menceritakan realita yaitu dampak dari konflik dan peperangan. Benua Afrika merupakan bekas jajahan Inggris, oleh karena itu karya sastra yang ada didalamnya bisa dikategorikan kedalam Anglophonic Literature.
            Persamaan kedua cerpen ini yaitu penggambaran nyata akibat dari sebuah peperangan dan sama-sama memiliki unsur kriminalitas yaitu pencurian. Adapun perbedaannya adalah The Will of Allah menceritakan tentang kehidupan dua orang pencuri sedangkan Civil Peace menceritakan tentang sebuah keluarga yang mengalami kasus pencurian. Jadi, cerpen pertama cenderung menjelaskan sisi negatif, sedangkan cerpen kedua sebaliknya.

            Amanat yang terkandung dalam kedua cerpen ini juga sangat jelas. Menyuruh manusia agar selalu bersyukur dalam situasi apapun dan mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang tak luput dari kesalahan. Tak ada yang sempurna melainkan Tuhan.  Janganlah merasa sombong atau berkecil hati dengan keadaan kita yang sekarang karena sesungguhnya roda kehidupan terus berputar. Ada kalanya kita merasa senang dan ada kalanya juga kita susah.

Civil Peace (by: Chinua Achebe)

Jonathan Iwegbu counted himself extra-ordinarily lucky. 'Happy survival!' meant so much more to him than just a current fashion of greeting old friends in the first hazy days of peace. It went deep to his heart. He had come out of the war with five inestimable blessings--his head, his wife Maria's head and the heads of three out of their four children. As a bonus he also had his old bicycle--a miracle too but naturally not to be compared to the safety of five human heads. The bicycle had a little history of its own. One day at the height of the war it was commandeered 'for urgent military action'. Hard as its loss would have been to him he would still have let it go without a thought had he not had some doubts about the genuineness of the officer. It wasn't his disreputable rags, nor the toes peeping out of one blue and one brown canvas shoes, nor yet the two stars of his rank done obviously in a hurry in biro, that troubled Jonathan; many good and heroic soldiers looked the same or worse. It was rather a certain lack of grip and firmness in his manner. So Jonathan, suspecting he might be amenable to influence, rummaged in his raffia bag and produced the two pounds with which he had been going to buy firewood which his wife, Maria, retailed to camp officials for extra stock-fish and corn meal, and got his bicycle back. That night he buried it in the little clearing in the bush where the dead of the camp, including his own youngest son, were buried. When he dug it up again a year later after the surrender all it needed was a little palm-oil greasing. 'Nothing puzzles God,' he said in wonder. He put it to immediate use as a taxi and accumulated a small pile of Biafran money ferrying camp officials and their families across the four-mile stretch to the nearest tarred road. His standard charge per trip was six pounds and those who had the money were only glad to be rid of some of it in this way. At the end of a fortnight he had made a small fortune of one hundred and fifteen pounds. Then he made the journey to Enugu and found another miracle waiting for him. It was unbelievable. He rubbed his eyes and looked again and it was still standing there before him. But, needless to say, even that monumental blessing must be accounted also totally inferior to the five heads in the family. This newest miracle was his little house in Ogui Overside. Indeed nothing puzzles God! Only two houses away a huge concrete edifice some wealthy contractor had put up just before the war was a mountain of rubble. And here was Jonathan's little zinc house of no regrets built with mud blocks quite intact! Of course the doors and windows were missing and five sheets off the roof. But what was that? And anyhow he had returned to Enugu early enough to pick up bits of old zinc and wood and soggy sheets of cardboard lying around the neighbourhood before thousands more came out of their forest holes looking for the same things. He got a destitute carpenter with one old hammer, a blunt plane and a few bent and rusty nails in his tool bag to turn this assortment of wood, paper and metal into door and window shutters for five Nigerian shillings or fifty Biafran pounds. He paid the pounds, and moved in with his overjoyed family carrying five heads on their shoulders. His children picked mangoes near the military cemetery and sold them to soldiers' wives for a few pennies--real pennies this time--and his wife started making breakfast akara balls for neighbours in a hurry to start life again. With his family earnings he took his bicycle to the villages around and bought fresh palm-wine which he mixed generously in his rooms with the water which had recently started running again in the public tap down the road, and opened up a bar for soldiers and other lucky people with good money. At first he went daily, then every other day and finally once a week, to the offices of the Coal Corporation where he used to be a miner, to find out what was what. The only thing he did find out in the end was that that little house of his was even a greater blessing than he had thought. Some of his fellow ex-miners who had nowhere to return at the end of the day's waiting just slept outside the doors of the offices and cooked what meal they could scrounge together in Bournvita tins. As the weeks lengthened and still nobody could say what was what Jonathan discontinued his weekly visits altogether and faced his palm-wine bar. But nothing puzzles God. Came the day of the windfall when after five days of endless scuffles in queues and counter-queues in the sun outside the Treasury he had twenty pounds counted into his palms as exgratia award for the rebel money he had turned in. It was like Christmas for him and for many others like him when the payments began. They called it (since few could manage its proper official name) _egg-rasher_. As soon as the pound notes were placed in his palm Jonathan simply closed it tight over them and buried fist and money inside his trouser pocket. He had to be extra careful because he had seen a man a couple of days earlier collapse into near-madness in an instant before that oceanic crowd because no sooner had he got his twenty pounds than some heartless ruffian picked it off him. Though it was not right that a man in such an extremity of agony should be blamed yet many in the queues that day were able to remark quietly on the victim's carelessness, especially after he pulled out the innards of his pocket and revealed a hole in it big enough to pass a thief's head. But of course he had insisted that the money had been in the other pocket, pulling it out too to show its comparative wholeness. So one had to be careful. Jonathan soon transferred the money to his left hand and pocket so as to leave his right free for shaking hands should the need arise, though by fixing his gaze at such an elevation as to miss all approaching human faces he made sure that the need did not arise, until he got home. He was normally a heavy sleeper but that night he heard all the neighbourhood noises die down one after another. Even the night watchman who knocked the hour on some metal somewhere in the distance had fallen silent after knocking one o'clock. That must have been the last thought in Jonathan's mind before he was finally carried away himself. He couldn't have been gone for long, though, when he was violently awakened again. 'Who is knocking?' whispered his wife lying beside him on the floor. 'I don't know,' he whispered back breathlessly. The second time the knocking came it was so loud and imperious that the rickety old door could have fallen down. 'Who is knocking?' he asked then, his voice parched and trembling. 'Na tief-man and him people,' came the cool reply. 'Make you hopen de door.' This was followed by the heaviest knocking of all. Maria was the first to raise the alarm, then he followed and all their children.


_'Police-o! Thieves-o! Neighbours-o! Police-o! We are lost! We are dead! Neighbours, are you asleep? Wake up! Police-o!'_ This went on for a long time and then stopped suddenly. Perhaps they had scared the thief away. There was total silence. But only for a short while. 'You done finish?' asked the voice outside. 'Make we help you small. Oya, everybody!' _'Police-o! Tief-man-o! Neighbours-o! we done loss-o! Police-o!...'_ There were at least five other voices besides the leader's. Jonathan and his family were now completely paralysed by terror. Maria and the children sobbed inaudibly like lost souls. Jonathan groaned continuously. The silence that followed the thieves' alarm vibrated horribly. Jonathan all but begged their leader to speak again and be done with it. 'My frien,' said he at long last, 'we don try our best for call dem but I tink say dem all done sleep-o... So wetin we go do now? Sometaim you wan call soja? Or you wan make we call dem for you? Soja better pass police. No be so?' 'Na so!' replied his men. Jonathan thought he heard even more voices now than before and groaned heavily. His legs were sagging under him and his throat felt like sandpaper. 'My frien, why you no de talk again. I de ask you say you wan make we call soja?' 'No'. 'Awrighto. Now make we talk business. We no be bad tief. We no like for make trouble. Trouble done finish. War done finish and all the katakata wey de for inside. No Civil War again. This time na Civil Peace. No be so?' 'Na so!' answered the horrible chorus. 'What do you want from me? I am a poor man. Everything I had went with this war. Why do you come to me? You know people who have money. We...' 'Awright! We know say you no get plenty money. But we sef no get even anini. So derefore make you open dis window and give us one hundred pound and we go commot. Orderwise we de come for inside now to show you guitar-boy like dis...' A volley of automatic fire rang through the sky. Maria and the children began to weep aloud again. 'Ah, missisi de cry again. No need for dat. We done talk say we na good tief. We just take our small money and go nwayorly. No molest. Abi we de molest?' 'At all!' sang the chorus. 'My friends,' began Jonathan hoarsely. 'I hear what you say and I thank you. If I had one hundred pounds...' 'Lookia my frien, no be play we come play for your house. If we make mistake and step for inside you no go like am-o. So derefore...' 'To God who made me; if you come inside and find one hundred pounds, take it and shoot me and shoot my wife and children. I swear to God. The only money I have in this life is this twenty-pounds _egg-rasher_ they gave me today...' 'OK. Time de go. Make you open dis window and bring the twenty pound. We go manage am like dat.' There were now loud murmurs of dissent among the chorus: 'Na lie de man de lie; e get plenty money... Make we go inside and search properly well... Wetin be twenty pound?...'

'Shurrup!' rang the leader's voice like a lone shot in the sky and silenced the murmuring at once. 'Are you dere? Bring the money quick!' 'I am coming,' said Jonathan fumbling in the darkness with the key of the small wooden box he kept by his side on the mat. At the first sign of light as neighbours and others assembled to commiserate with him he was already strapping his five-gallon demijohn to his bicycle carrier and his wife, sweating in the open fire, was turning over akara balls in a wide clay bowl of boiling oil. In the corner his eldest son was rinsing out dregs of yesterday's palm wine from old beer bottles. 'I count it as nothing,' he told his sympathizers, his eyes on the rope he was tying. 'What is _egg-rasher_? Did I depend on it last week? Or is it greater than other things that went with the war? I say, let _egg-rasher_ perish in the flames! Let it go where everything else has gone. Nothing puzzles God.'

The Will of Allah (by: David Owoyele)

There had been a clear moon. Now the night was dark. Dogo glanced up at the night sky. He saw that scudding black clouds had obscured the moon. He cleared his throat. 'Rain tonight,' he observed to his companion. Sule, his companion, did not reply immediately. He was a tall powerfully-built man. His face, as well as his companion's, was a stupid mask of ignorance. He lived by thieving as did Dogo, and just now he walked with an unaccustomed limp. 'It is wrong to say that,' Sule said after a while, fingering the long, curved sheath-knife he always wore on his upper left arm when, in his own words, he was 'on duty'. A similar cruel-looking object adorned the arm of his comrade. 'How can you be sure?' 'Sure?' said Dogo, annoyance and impatience in his voice. Dogo is the local word for tall. This man was thickset, short and squat, anything but tall. He pointed one hand up at the scurrying clouds. 'You only want to look up there. A lot of rain has fallen in my life: those up there are rain clouds.'

They walked on in silence for a while. The dull red lights of the big town glowed in crooked lines behind them. Few people were abroad, for it was already past midnight. About half a mile ahead of them the native town, their destination, sprawled in the night. Not a single electric light bulb glowed on its crooked streets. This regrettable fact suited the books of the two men perfectly. 'You are not Allah,' said Sule at last. 'You may not assert.'

Sule was a hardened criminal. Crime was his livelihood, he had told the judge this during his last trial that had earned him a short stretch in jail. 'Society must be protected from characters like you,' he could still hear the stern judge intoning in the hushed courtroom. Sule had stood in the dock, erect, unashamed, unimpressed; he'd heard it all before. 'You and your type constitute a threat to life and property and this court will always see to it that you get your just deserts, according to the Law.' The judge had then fixed him with a stern gaze, which Sule coolly returned: he had stared into too many so- called judges' eyes to be easily intimidated. Besides, he feared no-thing and no one except Allah. The judge thrust his legal chin forward. 'Do you never pause to consider that the road of crime leads only to frustration, punishment and suffering? You look fit enough for anything. Why don't you try your hand at earning an honest living for a change?' Sule had shrugged his broad shoulders. 'I earn my living the only way I know,' he said. 'The only way I've chosen.' The judge had sat back, dismayed. Then he leaned forward to try again. 'Is it beyond you to see anything wrong in thieving, burglary, crime?' Again Sule had shrugged. 'The way I earn my living I find quite satisfactory. Satisfactory' exclaimed the judge, and a wave of whispering swept over the court. The judge stopped this with a rap of his gavel. 'Do you find it satisfactory to break the law?' 'I've no choice,' said Sule. 'The law is a nuisance. It keeps getting in one's way.' 'Constant arrest and imprisonment - - do you find it satisfactory to be a jailbird?' queried the judge, frowning most severely. 'Every calling has its hazards,' replied Sule philosophically. The judge mopped his face. 'Well, my man, you cannot break the law. You can only attempt to break it. And you will only end up by getting broken.' Sule nodded. 'We have a saying like that,' he remarked conversationally. 'He who attempts to shake a stump only shakes himself.' He glanced up at the frowning judge. 'Something like a thick stump -- the law, eh?' The judge had given him three months. Sule had shrugged. 'The will of Allah be done.

A darting tongue of lightning lit up the overcast sky for a second. Sule glanced up. 'Sure it looks like rain. But you do not say: It will rain. You are only a mortal. You only say: If it is the will of Allah, it will rain.' Sule was a deeply religious man, according to his lights. His religion forbade being dogmatic or prophetic about the future, about anything. His fear of Allah was quite genuine. It was his firm conviction that Allah left the question of a means of livelihood for each man to decide for himself. Allah, he was sure, gives some people more than they need so that others with too little could help themselves to some of it. It could certainly not be the intention of Allah that some stomachs remain empty while others are overstuffed. Dogo snorted.

He had served prison sentences in all the major towns in the country. Prison had become for him a home from home. Like his companion in crime, he feared no man; but unlike him, he had no religion other than self- preservation. 'You and your religion,' he said in derision. 'A lot of good it has done you.' Sule did not reply. Dogo knew from experience that Sule was touchy about his religion, and the first intimation he would get that Sule had lost his temper would be a blow on the head. The two men never pretended that their partnership had anything to do with love or friendship or any other luxurious idea: they operated together when their prison sentences allowed because they found it convenient. In a partnership that each believed was for his own special benefit, there could be no fancy code of conduct. 'Did you see the woman tonight?' Dogo asked, changing the subject, not because he was afraid of Sule's displeasure but because his grasshopper mind had switched to something else. 'Uh-huh,' granted Sule. 'Well?' said Dogo when he did not go on. 'Bastard!' said Sule, without any passion. 'Who? Me?' said Dogo thinly. 'We were talking about the woman,' replied Sule.

They got to a small stream. Sule stopped, washed his arms and legs, his clean-shaven head. Dogo squatted on the bank, sharpening his sheath-knife on a stone. 'Where do you think you are going?' 'To yonder village,' said Sule, rinsing out his mouth. 'Didn't know you had a sweetheart there,' said Dogo. 'I'm not going to any woman,' said Sule. 'I am going to collect stray odds and ends -- if it is the will of Allah.'

'To steal, you mean?' suggested Dogo.

'Yes,' conceded Sule. He straightened himself, pointed a brawny arm at Dogo: 'You are a burglar, too ... and a bastard besides.'

Dogo, calmly testing the edge of the knife on his arm, nodded. 'Is that part of your religion, washing in midnight streams?' Sule didn't reply until he had climbed on to the farther bank, 'Wash when you find a stream; for when you cross another is entirely in the hands of Allah.' He limped off, Dogo following him. 'Why did you call her a bastard?' Dogo asked. 'Because she is one.' 'Why?' 'She told me she sold the coat and the black bag for only fifteen shillings.' He glanced down and sideways at his companion. 'I suppose you got on to her before I did and told her what to say?' 'I've not laid eyes on her for a week,' protested Dogo. 'The coat is fairly old. Fifteen shillings sounds all right to me. I think she has done very well indeed.' 'No doubt,' said Sule. He didn't believe Dogo. 'I'd think the same way if I'd already shared part of the proceeds with her . . .

Dogo said nothing. Sule was always suspicious of him, and he returned the compliment willingly. Sometimes their suspicion of each other was groundless, other times not. Dogo shrugged. 'I don't know what you are talking about.' 'No. I don't suppose you would,'



said Sule drily. 'All I'm interested in is my share,' went on Dogo. 'Your second share, you mean,' said Sule. 'You'll both get your share -- you cheating son without a father, as well as that howling devil of a woman.' He paused before he added, 'She stabbed me in the thigh -- the bitch.' Dogo chuckled softly to himself. 'I've been wondering about that limp of yours. Put a knife in your thigh, did she? Odd, isn't it?' Sule glanced at him sharply. 'What's odd about it?' 'You getting stabbed just for asking her to hand over the money.' 'Ask her? I didn't ask her. No earthly use asking anything of characters like that.' 'Oh?' said Dogo. 'I'd always thought all you had to do was ask. True, the coat wasn't yours. But you asked her to sell it. She's an old "fence" and ought to know that you are entitled to the money.' 'Only a fool would be content with fifteen shillings for a coat and a bag,' said Sule. 'And you are not a fool, eh?' chuckled Dogo. 'What did you do about it?' 'Beat the living daylight out of her,' rasped Sule. 'And quite right, too,' commented Dogo. 'Only snag is you seem to have got more than you gave her.' He chuckled again. 'A throbbing wound is no joke,' said Sule testily. 'And who's joking? I've been stabbed in my time, too. You can't go around at night wearing a knife and not expect to get stabbed once in a while. We should regard such things as an occupational hazard.' 'Sure,' grunted Sule. 'But that can't cure a wound.' 'No, but the hospital can,' said Dogo. 'I know. But in the hospital they ask questions before they cure you.'

They were entering the village. In front of them the broad path diverged into a series of tracks that twined away between the houses. Sule paused, briefly, took one of the paths. They walked along on silent feet, just having a look around. Not a light showed in any of the crowded mud houses. Every little hole of a window was shut or plugged, presumably against the threatening storm. A peal of languid thunder rumbled over from the east. Except for a group of goats and sheep, which rose startled at their approach, the two had the village paths to themselves. Every once in a while Sule would stop by a likely house; the two would take a careful look around; he'd look inquiringly down at his companion, who would shake his head, and they would move on.

They had been walking around for about a quarter of an hour when a brilliant flash of lightning almost burned out their eyeballs. That decided them. 'We'd better hurry,' whispered Dogo. 'The storm's almost here.' Sule said nothing. A dilapidated-looking house stood a few yards away. They walked up to it. They were not put off by its appearance. Experience had taught them that what a house looked like was no indication of what it contained. Some stinking hovels had yielded rich hauls. Dogo nodded at Sule. 'You stay outside and try to keep awake,' said Sule. He nodded at a closed window. 'You might stand near that.'

Dogo moved off to his post. Sule got busy on the crude wooden door. Even Dogo's practised ear did not detect any untoward sound, and from where he stood he couldn't tell when Sule gained entry into the house. He remained at his post for what seemed ages-it was actually a matter of minutes. Presently he saw the window at his side open slowly. He froze against the wall. But it was Sule's muscular hands that came through the window, holding out to him a biggish gourd. Dogo took the gourd and was surprised at its weight. His pulse quickened. People around here trusted gourds like this more than banks. 'The stream,' whispered Sule through the open window. Dogo understood. Hoisting the gourd on to his head, he made off at a fast trot for the stream. Sule would find his way out of the house and follow him.

He set the gourd flown carefully by the stream, took off its carved lid. If this contained anything of value, he thought, he and Sule did not have to share it equally. Besides, how did he know Sule had not helped himself to a little of its contents before passing it out through the window? He thrust his right hand into the gourd and next instant he felt a vicious stab on his wrist. A sharp exclamation escaped from him as he jerked his arm out. He peered at his wrist closely then slowly and steadily he began to curse. He damned to hell and glory everything under the sun in the two languages he knew. He sat on the ground, holding his wrist, cursing softly. He heard Sule approaching and stopped. He put the lid back on the gourd and waited. 'Any trouble?' he asked, when the other got to him. 'No trouble,' said Sule. Together they stooped over the gourd. Dogo had to hold his right wrist in his left hand but he did it so Sule wouldn't notice. 'Have you opened it?' Sule asked. 'Who? Me? Oh, no!' said Dogo. Sule did not believe him and he knew it. 'What can be so heavy?' Dogo asked curiously. 'We'll see,' said Sule.

He took off the lid, thrust his hand into the gaping mouth of the gourd and felt a sharp stab on his wrist. He whipped his hand out of the gourd. He stood up. Dogo, too, stood up and for the first time Sule noticed Dogo's wrist held in the other hand. They were silent for a long time, glaring at each other. 'As you always insisted, we should go fifty- fifty in everything,' said Dogo casually. Quietly, almost inaudibly, Sule started speaking. He called Dogo every name known to obscenity. Dogo for his part was holding up his end quite well. They stopped when they had run out of names. 'I am going home,' Dogo announced. 'Wait!' said Sule. With his uninjured hand he rummaged in his pocket, brought out a box of matches. With difficulty he struck one, held the flame over the gourd, peered in. He threw the match away. 'It is not necessary,' he said. 'Why not?' Dogo demanded. 'That in there is an angry cobra,' said Sule. The leaden feeling was creeping up his arm fast. The pain was tremendous. He sat down. 'I still don't see why I can't go home,' said Dogo. 'Have you never heard the saying that what the cobra bites dies at the foot of the cobra? The poison is that good: just perfect for sons of swine like you. You'll never make it home. Better sit down and die here.' Dogo didn't agree but the throbbing pain forced him to sit down.

They were silent for several minutes while the lightning played around them. Finally Dogo said, 'Funny that your last haul should be a snake-charmer's gourd.' 'I think it's funnier still that it should contain a cobra, don't you?' said Sule. He groaned. 'I reckon funnier things will happen before the night is done,' said Dogo. 'Uh!' he winced with pain. 'A couple of harmless deaths, for instance,' suggested Sule. 'Might as well kill the bloody snake,' said Dogo. He attempted to rise and pick up a stone from the stream; he couldn't. 'Ah, well,' he said, lying on his back. 'It doesn't matter anyway.'

The rain came pattering down. 'But why die in the rain?' he demanded angrily. 'Might help to die soaking wet if you are going straight to hell from here,' said Sule. Teeth clenched, he dragged himself to the gourd, his knife in his good hand. Closing his eyes, he thrust knife and hand into the gourd, drove vicious thrusts into the reptile's writhing body, breathing heavily all the while. When he crawled back to lay down a few minutes later the breath came whistling out of his nostrils; his arm was riddled with fang-marks; but the reptile was dead. 'That's one snake that has been charmed for the last time,' said Sule. Dogo said nothing.

Several minutes passed in silence. The poison had them securely in its fatal grip, especially Sule, who couldn't suppress a few groans. It was only a matter of seconds now.

'Pity you have to end up this way,' mumbled Dogo, his senses dulling. 'By and large, it hasn't been too bad -- you thieving scoundrel!' 'I'm soaked in tears on account of you,' drawled Sule, unutterably weary. 'This seems the end of the good old road. But you ought to have known it had to end some time, you rotten bastard!' He heaved a deep sigh. 'I shan't have to go up to the hospital in the morning after all,' he mumbled, touching the wound in his thigh with a trembling hand. 'Ah,' he breathed in resignation, 'the will of Allah be done.' The rain came pattering down.

Tahap Mitis, Ontologis, dan Fungsional dalam Kebudayaan Sunda

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.


Budaya Sunda merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia yang memiliki peranan dan pengaruh besar terhadap nusantara. Budaya Sunda memiliki konsep saling menghargai, menghormati, dan bersikap baik kepada siapapun termasuk kepada alam sekalipun. Dalam masyarakat Sunda dikenal dengan istilah silih asah, silih asih, dan silih asuh. Silih asih, silih asah, dan silih asuh merupakan pameo budaya Sunda. Ia menunjukan karakter yang khas dari masyarakat Sunda. Silih asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religious-sosial yang menekankan sapaan cinta kasih Tuhan dan merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan ungkapan lain, silih asih merupakan kualitas interaksi yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang melahirkan moralitas egaliter (persamaan) dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat silih asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang dipandang superior maupun imperior, sebab menentang semangat ketuhanan dan kemanusiaan. Sedangkan masyarakat silih asuh memandang kepentingan kolektif maupun pribadi mendapat perhatian serius melalui saling peduli, tegur sapa, dan saling menasehati. Budaya silih asuh inilah yang kemudian memperkuat ikatan emosional yang telah dikembangkan dalam tradisi silih asih dan silih asah dalam masyarakat Sunda.


Jika dikaitkan dengan teori C.A. Van Peursen dalam bukunya yang berjudul “Strategi Kebudayaan”, manusia terbagi menjadi tiga tahapan dalam berbudaya yang mana masyarakat Sunda sendiri telah mengalami tiga tahapan tersebut, adapun tahapan-tahapannya sebagai berikut:

1. Tahap Mitis

Pada tahap ini manusia merupakan bagian dari keseluruhan alam dan memiliki hubungan dekat dengan alam sekitarnya serta menyadari ada sesuatu yang gaib di luar dirinya. Para budayawan Sunda memandang pada tahap ini segala sesuatu baik hasil budaya atau entitas budaya sebagai hal yang gaib ( tidak terjamah oleh logika) artinya bersifat iirasional, dalam budaya sunda mistis sudah tidak asing lagi karna mistis tersebut masih digunakan mulai dari kakek dan nenek moyang sampe sekarang ini.

Pada jaman dahulu, ketika undak unduk basa dan ilmu pengetahuan belum dikenal, masyarakat Sunda begitu percaya terhadap hal-hal gaib/supranatural yang terjadi diluar kendali mereka. Adapun contohnya adalah kepercayaan masyarakat Sunda akan kekuatan gaib dari harimau, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya simbol-simbol dalam kebudayaan Sunda berupa harimau atau maung. Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Padjajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang, dan konon di hutan ini mereka bermetamorfosa menjadi harimau. Bahkan sampai saat ini simbol harimau masih melekat di kalangan masyarakat baik itu berupa verbal maupun non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Konteks lainnya adalah istilah pamali dalam bahasa Sunda yang diinterpretasikan sebagai larangan atau pantangan, contohnya “ulah motong kuku peuting-peuting!”. Jika secara logika apa salahnya memotong kuku pada malam hari? Namun, pada tahap mitis ini masyarakat tidak menggunakan logika sebagai tolak-ukur berpikir mereka, namun mereka berpegang pada tradisi turun menurun dan mempercayai hal itu sebagai kebenaran mutlak yang wajib dipatuhi.


Maung atau harimau yang merupakan simbol klub sepakbola PERSIB 


2. Tahap Ontologis

Tahap ini adalah ketika manusia mulai mengambil jarak dari segala sesuatu yang mengepungnya dan menelitinya demi mencari sebuah hakikat menurut ilmu-ilmunya. Tahap ini ditandai oleh manusia yang tidak lagi hidup dalam kekuasaan mitis namun bebas untuk memeriksa apapun. Dimensi ontologis disebut juga pandangan antroposentris dimana manusia bersifat asertif dan mengendalikan alam.

Dalam kebudayaan Sunda terdapat berbagai macam ritual atau upacara adat yang memiliki tujuan beraneka ragam. Contohnya adalah ritual tahunan yang terdapat di kawasan obyek wisata Pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Ritual ini diselenggarakan oleh masyarakat setempat berupa mandi suci atau Ngabungbang. Kata ngabungbang berasal dari “Nga” yang berarti ngahijikan (menyatukan) dan “bungbang” yang berarti membuang atau membersihkan. Secara umum, ritual ini berarti mandi suci untuk menghilangkan unsur-unsur buruk, baik lahir maupun batin. Contoh lain dapat kita temukan di situs megalitikum Gunung Padang yang terletak di daerah Cianjur yang jika dilihat dari masa pembangunannya, situs ini sengaja didirikan sebagai sarana penghubung antara yang hidup dengan arwah para leluhur yang sudah meninggal.

Situs Gunung Padang yang terletak di Cianjur, Jawa Barat 



3. Tahap Fungsional

Adapun tahap yang terakhir adalah tahap fungsional yang disebut sebagai tahap yang dimiliki oleh manusia modern. Pada tahap ini manusia mulai membangun relasi-relasi baru, dan yang ditekankan yakni arti segala sesuatu yang ada di sekitarnya dalam kaitannya dengan dirinya sendiri. Tahap cara berpikir ini selalu dikaitkan dengan modernitas.

Jika dikaitkan dengan situs Gunung Padang yang ada di Cianjur, maka dimensi fungsional itu antara lain:
· Adanya batu di teras keempat yang disebut batu gendong. Batu gendong tersebut merupakan batu andesit berukuran sebesar tas punggung berwarna coklat. Dipercaya kalau orang yang mampu mengangkat batu tersebut akan tercapai cita-cita dan harapannya.

· Adanya prototipe gamelan dalam bentuk batu memunculkan mitos kalau pesinden atau pemusik yang menjenguknya akan berpenampilan menjadi lebih baik.

· Teras kelima sering digunakan untuk mencari wangsit demi memompa kepercayaan diri oleh para pejabat daerah dan nasional (Helmy dan Jaluardi, 2012).

· Banyaknya pedagang, ojek, dan pengemis menunjukkan fungsionalisme ekonomi dari bangunan megalit Gunung Padang terhadap masyarakat sekitarnya.

Dewasa ini, Sastra Budaya Sunda dijadikan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi di Indonesia atau bahkan di luar negeri. Oleh karena itu saat ini banyak sekali sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan kebudayaan Sunda. Jika dahulu masyarakat Sunda sendiri tidak mengetahui tentang konsep budaya mereka, maka di jaman modern ini segala sesuatu yang berkaitan dengan tradisi dan budaya mereka sudah diilmukan sehingga siapapun bisa mempelajarinya.

Dengan belajar budaya manusia diharapkan tidak hanya bertanya dan menjadikan budaya sebagai objek penelitian semata, tetapi harus tanggap dalam menyikapi segala sesuatu yang ada di alam, baik itu dari segi sosial, agama, ekonomi, pendidikan, bahkan budaya itu sendiri.


Kampung Naga merupakan kampung adat yang masyarakatnya masih memegang teguh budaya Sunda, kampung ini terletak si kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya. 


Senin, 11 Januari 2016

Bumi dan Gadis berhati Bening

CERPEN INI DIPERUNTUKKAN KEPADA KITA SEMUA SEBAGAI UMAT MANUSIA AGAR MAU MENJAGA DAN MENYAYANGI BUMI



Disini, dalam ruang semesta yang luas tak berbatas. Aku berada di salah satu galaksi dari jutaan galaksi. Galaksi Bimasakti. Tempat dimana aku merasakan sakit yang teramat sangat. Menanggung penderitaan yang seolah tak kunjung reda. Dingin yang menusuk dan panas yang membakar, itulah yang selalu kurasakan. Aku semakin rapuh dan tak berdaya. Kian hari kian lemah. Siapa peduli dengan penderitaanku ini? Aku hanyalah planet jelek yang semakin tua dimakan waktu. Rasanya aku ingin teriak saja. Tapi, selalu kutahan. Karena jika aku melakukannya, seluruh isiku akan luluh lantak. Namun, semakin sering ku menahan, rasa sakit ditubuhku semakin hebat. Aku hanya bisa menangis. Tangisanku menyebabkan bencana tsunami dan hujan badai yang melanda negeri-negeri kalian.

Kadang aku merasakan kedinginan yang begitu menusuk. Selimut hijau yang ada pada tubuhku kian menipis seiring berjalannya waktu. Para manusia yang tidak bertanggung jawab dengan tega membakar dan menebang hutan-hutan. Mereka tidak peduli dengan keadaanku. Oleh karena itu, jika hawa dingin menyergap, aku pasti kegigilan. Karena sedikit sekali pepohonan yang menyelimuti tubuhku ini. Getaranku menyebabkan gempa bumi yang mengguncang. Akibatnya, banyak dari penghuniku kehilangan keluarga dan tempat tinggal mereka.

Kulitku juga terasa perih. Sangat perih. Karena banyak manusia yang melakukan pengrusakkan diatas permukaanku. Salah satunya penambangan secara liar dan tidak memenuhi aturan. Mereka melakukan penambangan secara terus menerus tanpa mempedulikan kondisi tanah dan air disekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan bencana tanah longsor, banjir bandang, sungai keruh, dan rusaknya ekosistem alam. Setelah puas membuat kulitku terluka dan mendapatkan hasil tambang yang mereka inginkan, mereka mencampakkanku begitu saja. Tidak peduli dengan kondisiku. Mengucapkan salam dan terimakasih pun mereka lupa.

Dikala panas, ketika sinar mentari menyengat tubuhku. Tak ada lagi payung yang melindungiku dari sinar ultraviolet. Karena lapisan ozon yang selama ini memayungiku, kian lama kian rusak diakibatkan oleh banyaknya volume kendaraan bermotor sehingga menimbulkan asap yang berlebihan. Hutan yang menjadi pelindung kulitku bahkan mereka bakar seenaknya. Akibatnya banyak dari kalian yang sulit untuk bernapas lega. Udara sehat menjadi langka.

Tubuhku juga kian hari kian kotor. Sungai-sungai yang tadinya jernih dan bersih berubah warna menjadi cokelat, bahkan ada yang berwarna hitam pekat. Kondisinya sangat jauh dari kata bersih. Bau dan kotor. Aku tak habis pikir, kenapa kalian betah melihat sungai dengan kondisi seperti itu. Alih-alih peduli, tidak sedikit manusia dengan seenaknya membuang sampah disungai. Akibatnya ketika musim penghujan tiba sungai pun meluap karena tidak mampu menahan volume air yang melebihi batas normal. Kenapa. Karena banyaknya sampah-sampah yang menghambat aliran sungai. Banjir pun melanda daerah perkotaan yang mempunyai sedikit daerah serapan air. Bukan hal yang aneh lagi, jika setiap tahun negeri kalian dihebohkan dengan berita banjir. Semua itu disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Dampaknya pun dirasakan oleh kalian bukan? Berbagai penyakit bermunculan. Mulai dari penyakit mata hingga gangguan pencernaan. Dan akhirnya, banyak nyawa yang terenggut sia-sia.


Aku sangat sedih mengingat kondisi fisikku saat ini. Aku rindu pada saat-saat ketika hutan-hutan yang menyelimutiku masih sangat lebat dan aku tidak perlu menggigil ketika hawa dingin datang, waktu itu juga kulitku belum terdapat luka. Lapisan ozon juga belum rusak dan masih mampu menahan dengan baik sinar ultraviolet dari matahari. Sungai-sungai yang ada masih terlihat jernih dan tidak kotor seperti sekarang. Pada waktu itu kondisinya sangat nyaman dan menyenangkan. Ikan-ikan bebas berenang karena tidak perlu takut dengan racun yang berasal dari limbah industri. Banjir sangat jarang melanda negeri kalian. Bahkan hampir tak pernah.

Dulu semua planet dan bintang mengagumiku. Bahkan, mereka iri padaku. Waktu itu aku masih terlihat gagah dan segar. Rimbun pepohonan, gemericik sungai yang jernih, tanah yang subur, semuanya menyatu menjadi ekosistem alam yang tentram.

Tapi kini, planet-planet lain malah menertawakan keadaanku. Bahkan aku iri pada mereka sekarang.

“Hai bumi si planet tua! Lihatlah aku si Saturnus! Banyak penghunimu yang mengagumi cincin indahku. Hahahahaha….”

“Hahahaha, bumi, bumi… kasihan sekali dirimu, kamu hanya planet rapuh yang selalu murung. Lihatlah kami para bintang yang selalu memancarkan cahaya! Semua manusia memuji dan mengagumi keindahan kami. Karena, memang wujud kami lebih indah dari pada kau. Hahahaha…”

Ejekan-ejekan seperti itu membuat hatiku sedih dan sakit. Aku sangat iri pada mereka. Karena mereka bisa bebas bergerak tanpa merasakan sakit. Aku iri pada si Jupiter yang gagah perkasa, aku iri pada Saturnus yang dengan bangga memamerkan cincin indahnya, aku iri pada Mars si bintang merah yang merona. Aku iri pada mereka semua. Mereka tidak merasakan penderitaan seperti yang aku rasakan saat ini. Tapi, beruntung aku masih memiliki sahabat yang selalu menemaniku ketika semua benda langit mengejekku. Dialah Sang Bulan.



---oOo---

Seorang gadis kecil berkepang dua terlihat sedang duduk serius didepan televisi. Ternyata ia sedang menyaksikan sebuah berita. Berita itu menjelaskan tentang kondisi bumi dan atmosfernya yang kian memprihatinkan. Dijelaskan dalam berita itu bahwa saat ini bumi mengalami kondisi yang menyedihkan. Kebakaran hutan dimana-mana sehingga hutan yang seharusnya menjadi penghasil oksigen yang dibutuhkan manusia semakin berkurang. Kabut asap menghalangi jalan-jalan dan membuat banyak orang sesak nafas. Lapisan ozon pun rusak diakibatkan oleh meningkatnya jumlah kendaraan bermotor. Parfum dan pewangi ruangan yang digunakan oleh banyak manusia juga menghasilkan gas berbahaya yang dapat merusak lapisan ozon. Lapisan ozon yang seharusnya menjadi penahan sinar ultra violet pun rusak, maka terjadilah pemanasan global. Hal ini berdampak serius terhadap kondisi bumi, seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. Berita itu juga menjelaskan dampak buruk dari pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri. Contohnya pencemaran sungai yang disebabkan oleh pembuangan limbah pabrik dan banyaknya manusia yang membuang sampah ke sungai. Sehingga, ketika musim penghujan datang, banjir pun tak dapat dihindari. Akibat dari banjir itu banyak rumah-rumah yang terendam air. Tidak sedikit anak-anak yang seharusnya pergi ke sekolah, malah menghabiskan waktunya untuk membantu kedua orang tua mereka menyelamatkan perabotan rumah. Pada akhirnya, pendidikan mereka pun terbengkalai. Berbagai macam penyakit bermunculan, seperti penyakit kulit dan gangguan pencernaan mewabah penduduk setempat. Para korban banjir juga sangat sulit memperoleh air bersih.

Bening, nama gadis kecil tersebut menitikkan air mata saat menyaksikan berita itu. Hatinya tersentuh dan timbul hasrat untuk membantu. Tapi membantu dengan cara apa. Bahkan, ia sendiri pun tidak tahu harus mulai dari mana. Ia hanyalah seorang bocah SD yang kata orang masih ingusan. Para orang dewasa akan menganggapnya terlalu kecil untuk mengurusi hal-hal seperti itu. Pikirannya terus berkecamuk sampai ibunya datang dan duduk disebelahnya.

"Kamu kenapa Bening? kok, keliatannya gelisah gitu?"

Bening menjawab pertanyaan yang dilontarkan ibunya. Ia menceritakan tentang berita yang barusan ia lihat di televisi, dan tanggapannya setelah menyaksikan berita tersebut. Ibunya mendengarkan penjelasan Bening dengan baik kemudian tersenyum.

"kata siapa kamu tidak mampu melakukan apa-apa, kamu bisa mencegah itu semua Bening, asalkan kamu mempunyai tekad yang kuat."

"Tapi dengan cara apa, bu? aku kan masih terlalu muda."

"Justru karena usiamu yang masih muda itulah yang membuatmu mampu untuk melakukannya."

Bening semakin tidak mengerti apa maksud ibunya. Ibunya paham akan hal itu.

"Bening, masa depan bumi ada ditanganmu dan tangan-tangan seusiamu. Kamu adalah salah satu generasi penerus masa depan bumi. Banyak hal yang kamu lakukan untuk menyelamatkan bumi ini. Mulai dari yang terkecil dahulu, yaitu dengan tidak membuang sampah sembarangan, kedengarannya sepele memang. Tetapi, jika semua orang mau melakukannya, ini sangat berdampak baik bagi lingkungan. Sampah-sampah disungai akan berkurang sedikit demi sedikit, sehingga aliran sungai menjadi lancar dan masyarakat tidak perlu khawatir akan datangnya banjir. Kemudian dilanjutkan dengan penghijauan, yaitu penanaman pepohonan di sekitar lingkungan tempat kita tinggal. Pepohonan dapat menukar gas karbondioksida dengan gas oksigen yang kita butuhkan, sehingga udara pun menjadi segar dan dapat mengurangi pemanasan global. Pemakaian kendaraan bermotor juga sebaiknya dikurangi, kalau jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh, apa salahnya berjalan kaki atau naik sepeda. Karena asap kendaraan bermotor juga dapat memicu terjadinya pemanasan global. Oh iya, kamu pernah mendengar tentang kampung iklim?"

Bening menggelengkan kepala, ia memang tidak tahu apa itu kampung iklim. Kemudian ibunya menjelaskan apa itu kampung iklim.

"Kampung iklim merupakan salah satu upaya untuk mengurangi pemanasan global. Suatu daerah dapat disebut kampung iklim apabila memiliki kawasan hijau atau memiliki banyak pepohonan. Dan tingkat kepedulian masyarakatnya dalam menjaga lingkungan juga sangat tinggi. Mereka memasak tidak menggunakan gas elpiji seperti kebanyakan orang, karena gas elpiji yang banyak digunakan berasal dari tempat yang jauh dan butuh kendaraan seperti mobil truk untuk mengangkut tabung-tabung gas elpiji untuk diberikan kepada para pedagang untuk dijual kepada masyarakat. Nah, asap kendaraan dari mobil truk itulah yang menyebabkan pemanasan global. Oleh karena itu sebagai pengganti gas elpiji mereka menggunakan biogas."

"Biogas itu apa, bu?"

"Biogas adalah gas yang dihasilkan dari kotoran-kotoran hewan, seperti kotoran sapi dan kerbau. Untuk bisa memasak dengan biogas, setiap satu keluarga harus menyiapkan sebuah lubang yang dalam untuk menampung kotoran-kotoran hewan, setelah itu sebuah selang dipasang kedalam lubang tersebut dan dihubungkan kepada sebuah tabung gas khusus yang bisa mengubah kotoran hewan menjadi biogas. Di kampung iklim kita jarang sekali melihat kendaraan bermotor, karena kebanyakan mereka hanya mengendarai sepeda dan cukup berjalan kaki jika jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh, selain itu dikampung iklim juga jarang kita menemukan sampah-sampah berserakan. Masyarakat di kampung iklim sadar betul, bahwa menjaga kebersihan amatlah penting. Semakin banyak kampung iklim, pemanasan global dan pun semakin berkurang dan lingkungan disekitar kita juga menjadi bersih dan nyaman.”

Sampai disitu ibu Bening menghentikan penjelasannya dan mengajak Bening ke halaman belakang rumah. Bening menuruti apa kata ibunya. Di halaman belakang rumah terdapat dua tempat sampah. Sampah yang pertama terdapat tulisan ‘sampah organik’ dan tempat sampah yang kedua terdapat tuliran ‘non organik’.

“kamu tahu apa perbedaan dari kedua tempat sampah ini?”

“Tidak tahu, bu.”

“Perbedaannya adalah tempat sampah yang bertuliskan ‘organik’ diperuntukkan untuk sampah-sampah jenis organik. Sampah jenis organik itu misalnya kertas, kulit buah-buahan, sisa daging, tulang belulang, sisa sayuran yang terbuang, dan dedaunan. Sampah jenis ini adalah sampah yang mudah terurai oleh mikroba. Agar sampah ini tidak terbuang begitu saja, sebaiknya kita olah menjadi pupuk organik.”

“Caranya bagaimana, bu agar mengolah sampah-sampah ini menjadi pupuk?”

“Pertanyaan yang bagus.”

Kemudian ibunya memperlihatkan kepada Bening sebuah lubang berukuran satu meter. Bening tahu kalau lubang itu digali oleh ayahnya. Tapi, sampai saat ini Bening tidak tahu apa kegunaan dari lubang tersebut.

“Sampah organik kita masukkan kedalam lubang ini. Lubang berukuran satu meter ini disebut lubang biospora. Setelah itu kita tutup dengan tanah. Tunggu hingga tiga sampai empat minggu. Dan sampah-sampah yang ada dilubang ini dapat digunakan sebagai pupuk, selain itu sampah-sampah organik juga dapat menyuburkan tanah. Nah, berbeda dengan sampah organik. Sampah non organik sangat sulit diurai oleh mikroba. Jadi, sampah jenis ini tidak mudah hancur. Contohnya sampah-sampah berbahan plastik dan karet.”

“Lalu cara memusnahkannya bagaimana?” Tanya Bening

“Memusnahkan sampah jenis ini sangatlah sulit. Tapi kita bisa mengurangi keberadaannya, yaitu dengan cara mengumpulkannya dan mengolahnya menjadi barang-barang berguna. Contohnya seperti tas ini yang terbuat dari bungkus-bungkus plastik bekas.” Ibu Bening memperlihatkan sebuah tas yang terbuat dari gabungan sampah-sampah plastik.

“Hihihi… lucu juga ya, bu. Tapi, bagaimana cara membuatnya?”

“Sekarang sangat banyak industri-industri rumahan yang mengolah sampah plastik menjadi barang-barang yang berguna bagi kebutuhan kita. Seperti tas, sandal, dompet, layang-layang, karpet, dan masih banyak lainnya. Dan ibu mendapatkan ini dari teman ibu yang mempunyai usaha industri rumahan. Kita juga bisa membawa sampah-sampah plastik itu kesana, yang nantinya diolah menjadi barang-barang cantik. Bisa juga kita bawa ke lapak-lapak. Jangan salah lho, lapak-lapak pengolah limbah dan barang bekas juga sangat membantu dalam usaha megurangi sampah-sampah yang ada. Jika semua orang mau melakukannya, pemanasan global pun berkurang, polusi udara semakin menurun, dan lingkungan pun bersih dari sampah. Membawa bekal dari rumah ketika sekolah juga dapat membantu mengurangi sampah, lho. Karena dengan membawa bekal dari rumah berarti kamu dan teman-teman sekolahmu tidak membeli jajanan yang kebanyakan dibungkus oleh bahan plastik.”

Bening menyimak penjelasan ibunya dengan baik. Dalam hatinya ia berjanji akan mempraktekkan apa yang telah dijelaskan ibunya. Mulai dari yang terkecil dulu, yaitu tidak membuang sampah sembarangan dan membawa bekal dari rumah ketika sekolah. Jadi, pada waktu isirahat ia tidak perlu jajan. Selain mengurangi jumlah sampah, ia juga bisa menghemat uang saku dari ibunya.

Malam harinya, Bening tidak bisa tidur. Ia duduk didekat jendela kamarnya menghadap ke arah luar jendela, merasakan udara malam yang dingin. Kemudian ia mengambil secarik kertas dan sebuah pulpen. Lalu ia menulis diatas kertas tersebut.

Seandainya semua orang sadar dan peduli terhadap alam. Mungkin kondisi bumi tidak akan seperti ini. Aku hanyalah seorang gadis kecil yang belum bisa berbuat banyak. Tapi aku janji, ketika dewasa nanti aku akan berusaha mengubah dunia. Mengajak semua orang untuk bersama-sama menjaga kelestarian alam. Mungkin, saat ini aku hanya bisa mengajak teman-temanku saja. Tapi, suatu saat aku akan mengajak lebih banyak lagi. Aku yakin, jika seluruh manusia mau mempraktekkan apa yang sudah ibu jelaskan kepadaku. Maka, Bumi kita akan selamat…



Lalu ia juga menulis sebuah puisi.



Disini…

Ku terjebak dalam hiruk pikuk kota

Bising…

Asap kendaraan bermotor menghiasi udara

Pengap…

Mana kotaku dulu yang bersih lagi nyaman?

Mana sungaiku dulu yang jernih di penuhi kawanan ikan?

Andai mereka tahu…

Bahwa bumi kini sedang kesakitan

Merasakan perih sekujur tubuh

Menahan luka yang tak kunjung reda



Bening berhenti menulis. Matanya sudah mulai mengantuk. Kertas dan pulpen ia biarkan tergeletak di dekat jendela kamarnya. Sedangkan, ia sendiri beranjak ke tempat tidur untuk menjemput mimpi-mimpi indahnya.

Bening sudah tertidur pulas. Ia lupa menutup jendela kamarnya. Angin malam membawa kertas yang ia tulis tadi keluar jendela. Kertas itu melayang-layang diantara dinginnya malam.

---oOo---

Keesokan harinya dikelas, Bu Ita, guru bahasa Indonesia menjelaskan tentang pentingnya menjaga kelestarian alam. Lalu, Bu Ita menyuruh murid satu persatu untuk maju kedepan kelas. Para Murid ditugaskan menyampaikan gagasan tentang bagaimana cara untuk menjaga kelestarian alam. Tiba giliran Bening. Bening menyampaikan gagasan tentang cara menjaga kelestarian alam. Apa yang telah disampaikan ibunya ia jelaskan dengan baik. Tidak lupa ia juga mengajak teman-temannya untuk membawa bekal dari rumah ketika sekolah dan tidak membuang sampah sembarangan. Bu Ita dan semua teman-teman Bening bertepuk tangan ketika bening selesai memberikan gagasannya. Mereka semua setuju dengan gagasan Bening. Dan mereka pun berjanji akan mempraktekkannya. Semenjak saat itu, Bening menjadi pelopor di sekolahnya. Karena, berkat gagasan Bening sekolah mereka mendapat penghargaan dari pemerintah setempat sebagai sekolah terbersih. Selain itu, sekolah mereka juga mendapat gelar sebagai ‘Sekolah Hijau’ karena di sekolah itu ditanami banyak pepohonan yang membuat suasana menjadi nyaman.

                                                       


---oOo---

Seperti biasanya, akhir-akhir ini Bumi sering termenung meratapi penderitaannya. Akhir-akhir ini juga bumi selalu murung, jarang sekali tersenyum seperti dulu. Sudah berkali-kali Bulan menghiburnya. Tapi hasilnya sia-sia.

Keadaan itu terus berlanjut, sampai suatu ketika datanglah si angin pembawa kabar. Kali ini ia ingin menyampaikan kabar gembira untuk Bumi.

“Hai Bumi, yang selalu murung! Aku ingin menyampaikan berita gembira untukmu. Semoga dengan berita ini kamu tidak akan sedih dan murung lagi.”

Bumi yang sedari tadi termenung, langsung sadar dari lamunannya.

“Kabar apa itu?” Tanya Bumi penasaran.

“Ada seorang gadis kecil, namanya sesuai dengan hatinya. Bening. Ia menulis sebuah puisi yang isinya tentang rasa pedulinya terhadap kondisimu saat ini. Tulisan itu murni berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam.”

“Bisa kau bacakan puisinya?”

“Tentu saja.” Lalu Angin pun membaca puisi yang ditulis oleh Bening. Sang Bulan yang ikut mendengarkan berharap dengan datangnya berita ini, sahabatnya tidak sedih lagi.

“Benarkah demikian? Masihkah ada manusia yang peduli denganku?” kata bumi tak percaya.

“Tentu saja.” Jawab Bulan.

“Tidak semua orang mencampakkanmu dan menyakitimu, Bumi. Banyak dari mereka yang masih peduli terhadapmu. Dan gadis itu adalah salah satu dari mereka.”

“Tapi para planet-planet lain selalu mencemoohku. Mereka benar, aku hanyalah planet tua yang jelek yang semestinya berdiam diri saja menunggu masa kehancuranku tiba.”

“Bumi, janganlah kau berkata seperti itu! Meskipun mereka selalu mengejekmu, aku akan tetap selalu menemanimu. Janganlah berkecil hati, wahai sahabatku! Lihatlah dirimu! Sebenarnya banyak sekali kelebihan yang ada pada dirimu.” Bulan pun angkat bicara.

“Apa kelebihan yang ada pada diriku itu, Bulan?”

“Banyak sekali. Sangat banyak. Kau mempunyai banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh planet-planet lain. Bahkan, aku sekalipun tidak memilikinya. Kau mempunyai banyak penghuni yang tinggal diatasmu. Mereka menjagamu, merawatmu, dan peduli terhadapmu. Meskipun ada juga diantara mereka yang tidak peduli. Tapi setidaknya kau masih mempunyai mereka. Kau juga memiliki perhiasan yang indah berupa pemandangan-pemandangan alam yang sangat menakjubkan. Laut, gunung, sungai, dan danau adalah anugerah Tuhan yang diberikan untukmu.”

“Kenapa kau tahu itu semua wahai Bulan?”

“Karena aku sahabatmu. Banyak pula diantara penghunimu yang mencurahkan isi hatinya padaku setiap malam. Mereka bilang, betapa beruntung dan bahagianya mereka bisa menginjakkan kakinya di bumi. Mereka juga bilang, seandainya kau tidak diciptakan, mereka tidak akan merasakan kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, hapuslah kesedihanmu. Buanglah rasa iri! Tunjukkan pada planet-planet lain bahwa kamu jauh lebih istimewa dibanding mereka!”



---oOo---

Kata-kata Sang Bulan membuat hatiku yang tadinya sedih menjadi bangga. Tanpa kusadari, ternyata aku memiliki keistimewaan yang diberikan oleh Tuhan. Tuhan menciptakanku sebagai tempat hidup para manusia, hewan dan tumbuhan. Aku sangat beruntung mempunyai sahabat seperti Bulan. Aku baru sadar, bahwa aku memiliki peranan penting bagi kehidupan semua makhluk hidup. Tapi, meskipun begitu aku tidak boleh sombong. Karena, semua kelebihan yang ada pada diriku bersifat sementara.



Aku tidak butuh hanya satu nama Bening. Tapi, aku butuh jiwa-jiwa seperti Bening. Aku sangat berharap suatu saat bukan hanya Bening yang peduli terhadapku. Aku ingin menikmati sisa hidupku dengan penuh kedamaian. Aku ingin sekali rasa sakit di tubuhku hilang. Dan yang bisa melakukannya hanya kalian. Jadilah seperti Bening. Selamatkanlah diriku. Menyelamatkan diriku berarti sama saja kalian menyelamatkan seluruh manusia, hewan dan tumbuhan. Sampaikan salam dan ucapan terima kasih kepada mereka yang sudah mau peduli terhadapku. Dan sampaikanlah pesan kapada seluruh manusia untuk selalu menjaga, menyayangi, dan merawatku. Terima kasih kawan, karena kau sudah mau menghabiskan waktumu membaca suara hatiku ini. Aku sayang kalian. Sangat sayang....


(by: Bilal Fatah)