Minggu, 18 Desember 2016

Cerpen: SURGA DUNIA



Kulihat jam tangan dengan latar bergambar peta dunia kesayanganku. Pukul tujuh lewat tiga puluh satu menit. Hei, bukankah acara seharusnya sudah dimulai? Bahkan sudah lewat satu menit dari jadwal yang kulihat di sebuah pamflet berbahasa Inggris. Apa mungkin aku salah lihat? Tidak, aku yakin tak salah barang satu angka pun. Acaranya akan dimulai pada pukul setengah delapan. Kunaikan resleting sweater hoodie abu-abu kesayanganku sehingga menimbulkan bunyi yang khas. Malam ini angin cukup berhasil membuat aku berbuat demikian dibandingkan malam-malam sebelumnya. Di Moskwa sana pada bulan Oktober, dinginnya berlipat tiga ganda dari dinginnya Indonesia. Tak cukup dengan hoodie untuk menghangatkan tubuh. Namun Oktober sekarang aku memutuskan untuk menghabiskan musim dingin di negara khatulistiwa ini. Bukan karena aku tak kuat dengan dinginnya Moskwa, melainkan karena rasa penasaranku terhadap negara ini yang memiliki banyak budaya dan bahasa daerah. Surga dunia pula kata penduduk pribuminya.
            Lampu panggung dinyalakan. Disusul dengan lampu dari setiap candi Prambanan yang menampilkan kesan artistik bangunan peninggalan kerajaan Hindu itu. Gemintang yang tak ada keinginan dalam diri untuk menghitung jumlahnya seakan berteriak hore karena lampu candi dinyalakan. Jika Aristoteles menyaksikan seperti aku menyaksikan semua pada saat ini mungkin kata Prambanan dan Jawa akan termaktub dalam setidaknya salah satu tulisannya.
            Suara salah satu alat musik yang aku yakin bahwa itu dibunyikan dengan cara dipukul menggema ke seluruh penjuru. Penonton diam. bahkan hanya untuk sekedar berbisik pun enggan. Tersihir dengan suara Doom yang akhirnya kuketahui bahwa alat itu bernama gong setelah aku bertanya pada pemuda yang duduk disampingku. Sepertinya mahasiswa. Bahasa Inggrisnya lebih dari fasih. Jurusan sastra Inggriskah? Atau hanya pernah ikut kursus seperti orang-orang non-kaukasia lainnya yang berusaha untuk bisa bahasa Inggris demi kepentingan masing-masing. Kulihat dari ransel yang ia kenakan dan buku catatan yang ia pegang. Ia kemudian menulis, entah apa.
            Alunan musik itu menciptakan rasa magis dan sakral di lidah penonton yang kelu. Suara gong dan alat musik lainnya yang entah apa namanya membuat bulu romaku bersitegang. Mataku hanya berkedip barang dua menit sekali. Bukan, bukan karena pertunjukkan secara keseluruhan. Karena mata itu. Mata itu yang membuat mataku tidak berkedip dalam jeda waktu yang lebih lama dari biasanya. Mata dengan bola mata hitam sempurna dan alis yang menukik setajam cakar garuda. Apakah semua gadis jawa demikian adanya? Kulihat gadis-gadis lainnya yang menari bersama, sama cantiknya, sama luwesnya, sama anggunnya. Namun yang satu itu nampak tak sama meskipun mereka menari dengan gerakan yang serupa.
            Pertunjukkan selesai. Dalam hati aku merutuk kecewa karena ini sebentar sekali. Pertunjukkannya baru dimulai beberapa menit yang lalu bukan? Kulihat jam tangan peta duniaku. Pukul sepuluh malam. Akhirnya aku tersadar, sebenarnya yang tidak waras adalah diriku. Karena gadis Jawa itukah? Penonton mulai meninggalkan tempat tanpa dititah.
            “Namanya tari serimpi, tuan. Tari yang merepresentasikan anggun dan cantiknya burung merak namun susah untuk ditangkap.” Kata mahasiswa disebelahku itu tanpa ditanya. Sudah kubilang bahwa bahasa Inggrisnya lebih dari fasih. Aku menoleh padanya menunjukkan wajah heran.
            “Oh maaf sekiranya saya tidak sopan tuan, namaku Legi Sadewo. Panggil saja Legi.” Aku menjabat tangannya dan kurasakan genggaman salamnya cukup kuat untuk ukuran orang asia.
            “Namaku Ferdinand Koroskov.” Kataku kemudian tersenyum.
            “Sepertinya Tuan tertarik dengan pertunjukkan ini. Ah, tapi saya pikir anda lebih tertarik dengan angsa daripada merak.” Katanya kemudian tertawa renyah. Hei, siapa pemuda ini? Bagaimana ia tahu bahwa aku berasal dari Russia? angsa yang ia maksud tentu saja tari ballet bukan?
            “Hahaha. Sepertinya kamu tahu aku berasal dari mana.”
            “Dari namamu, tuan Koroskov.”
            “Kau jurusan sastra? Seni?”
            “Bukan mahasiswa, Tuan. Namun Tolstoy adalah salah satu yang ku kagumi.” Katanya dengan mantap tak ada keraguan. Aku menarik kesimpulan bahwa ia akan menjadi teman yang mengasyikkan.
            “Ah, sepertinya kau penikmat sastra. Tahu tempat yang nyaman dan buka sepanjang malam untuk berbincang?” Tanyaku.
            “Ikut saya, Tuan.” 
             Legi membawaku ke sebuah kafe ‘Bengawan Solo’. Alunan musik keroncong mengalun pelan menciptakan suasana klasik yang kuat. Di kafe Legi menceritakan semuanya. Tentang sungai Bengawan Solo, musik keroncong, dan sang maestro Ki Gesang.
            “Aku penikmat musik keroncong terutama karya Ki Gesang yang satu ini.” Kata Legi kemudian meneguk kopi arabika yang kami pesan.
            “Kau suka musik, tuan?”
            “Sangat suka. Jika kau berkunjung ke rumahku di Moskwa, kau pasti bakal tidak percaya bahwa itu sebuah rumah.” Jawabku dengan antusias. Semangatku bangkit begitu Legi menanyakan soal musik.
            “Aku penggemar musik klasik. Zaman Barok dan Romantik. Mozart dan Betethoven adalah dua dewa yang ku kagumi dalam bidang ini. Aku juga mengoleksi beberapa piringan hitam dan jenis gramofon. Semuanya serba klasik. Rumahku lebih terlihat seperti museum musik.”
            “Menyenangkan sekali kedengarannya. Tentu tuan bisa memainkan alat musik.” Katanya sambil memberi isyarat padaku ke arah grand piano di pojok kafe. Dapat dipahami maksudnya. Ia menantangku secara tidak langsung. Aku segera beranjak dari kursi menuju grand piano. Duduk senyaman mungkin dan memainkan The Magic Flute karya sang maestro Wolfgang Amadeus Mozart. Sambil memainkannya mataku terpejam. Meskipun tak melihat aku yakin semua mata yang ada di kafe ini tertuju kesini. Seorang bule sedang memainkan musik yang terdengar asing bagi mereka. The Magic Flute selesai. Pengunjung kafe bertepuk tangan riuh.
            “Luar biasa. Sangat senang bisa berjumpa dengan anda tuan Koroskov.” Kata Legi sambil bertepuk tangan.
            “Ferdo, panggil saja aku Ferdo supaya lebih akrab.”
            Berawal dari dua orang asing yang tak saling kenal karena perbedaan ras, budaya, dan bahasa, kini kami seperti dua sahabat yang sudah lama tak bersua. Kami memiliki banyak kesamaan. Sama-sama penikmat seni dan sastra. Legi berusia empat tahun lebih muda dariku. Ia merupakan seorang wartawan sekaligus penulis. Kegemarannya akan membaca buku dan menulis membuat ia berhasil mendapatkan posisi itu meskipun tak pernah merasakan bangku kuliah.
            “Awalnya aku mengirimkan sebuah artikel di koran nasional yang cukup terkenal dan diterima dengan respon yang sangat baik. Kemudian ditawarkan untuk menjadi kolumnis tetap yang mengisi satu kolom bertemakan sastra dan budaya. Sampai sekarang pun masih menjadi kolumnis, namun rasanya bosan jika hanya menulis saja. Dan akhirnya aku mengajukan diri menjadi wartawan.”
            “Usiamu masih muda dan kau kini menjabat sebagai wartawan dan penulis sekaligus. Sangat hebat, kawan!” Aku salut padanya. Yang dipuji hanya tertawa.
            “Oh ya, sepertinya kau suka tarian tadi. Jika mau aku bisa mengajakmu ke sanggar tempat para penari itu berlatih.”
            Entah mengapa darahku berdesir mendengar ajakannya. Teringat pada salah seorang penari tadi yang menyihirku menjadi lupa waktu.
            “Dengan senang hati.” Kataku mantap. Kami bertukar nomor whatsapp.

            Lima belas menit aku menunggu di halte. Kami sepakat untuk bertemu disini. Legi belum nampak batang hidungnya. Bau asap rokok tercium langsung olehku. Berasal dari lelaki tua dengan sekotak kardus dipangkuan. Entah apa isinya. Lelaki itu sekilas memperhatikan penampilanku. Terlihat sangat ingin menyapa namun khawatir salah ucap. Dalam hati ini berniat menegur namun khawatir si kakek tak paham.
            “Selamat pagi, tuan Ferdo. Maaf membuatmu menunggu. Orang barat memang selalu lebih tepat waktu ya.” Katanya kemudian tertawa.
            “Ah, tak apa. Banyak hal yang ku perhatikan selama menunggu. Menarik.”
            Kami menaiki bus kota menuju tempat yang kuharap disana berjumpa dengan gadis itu. Saat ini kusebut sajalah ia sang penari. Di perjalanan Legi menceritakan banyak hal. Segala sesuatu tentang negeri ini ia ceritakan. Sejarah, seni, budaya, dan bahasa menjadi topik utamanya.
            “Indonesia mempunyai lebih dari seribu bahasa daerah. Bayangkan tuan, lebih dari seribu! Tapi dari Sabang sampai Merauke kami berbahasa ibu hanya satu, tuan. Bahasa Indonesia. Yang menyatukan kami hingga saat ini.” Kata Legi dengan antusias dan obrolan kami berhenti karena Legi memberi isyarat kepadaku untuk turun. Kami sudah sampai.
            Kami memasuki gerbang kayu bertulisan ‘Sanggar Tresno’ diatasnya. Melewati jalan yang terdiri dari kumpulan batu alam. Rumput dan bunga di kanan-kiri menyambut kedatangan kami. Bangunan sanggar yang terbuat dari kayu jati yang dipernis membuat mataku tak bosan menatapi setiap guratan-guratan alami pada dindingnya.     
            “Selamat datang Tuan Koroskov.” Seorang wanita dengan setelan kebaya hijau muda tiba-tiba muncul dari balik pintu bangunan ini. Rambutnya disanggul besar memberi kesan bahwa ia adalah wanita bersahaja. Uban putih terlihat beberapa baris diantara rambut hitamnya. Tunggu, Bagaimana ia tahu namaku?
            “Ah, seharusnya kau tanyakan itu pada Legi. Legi yang memberitahu bahwa kau akan datang. Perkenalkan namaku Nyimas.” Wanita ini menangkap wajah heranku. Kami bersalaman. Logat jawanya tak bisa disembunyikan meskipun dengan bahasa Inggris.
            “Senang berjumpa dengan anda, nyonya Nyimas.”
            “Mari, silahkan masuk.”
            Perempuan itu menuntun kami ke ruang tamu di belakang. Ruang tamu seolah sengaja diposisikan demikian. Karena dari jendela di ruangan ini, aku bisa melihat sekelompok gadis sedang latihan menari. Aku mencari-cari sosok ‘sang penari’ namun tak kudapat dia diantara mereka.
            ”Nyonya. Siapakah gadis yang paling pandai menari diantara gadis-gadis yang lain?” Tanyaku lancang.
            “Mengapa tuan bertanya demikian?”
            Bodoh. Pertanyaan macam apa pula itu. Seperti tak ada pertanyaan yang lain saja.
            “Kalau berkenan, aku ingin mewawancarai gadis itu.” Alasan itu keluar dari mulutku secara spontan. Luar biasa.
            “Tunggu sebentar.”
            Perempuan itu meninggalkan ruang tamu. Legi terlihat sedang mangamati beberapa lukisan yang terpajang di ruang tamu. Semenjak kami tiba di tempat ini ia lebih banyak diam.
            “Hey bocah bandel, kenapa kau tak bilang kakak bahwa kau ingin kemari?”
            Sosok itu datang secara tiba-tiba. ‘Sang penari’ yang menyihirku menjadi lupa waktu.
            “Lebih baik aku bilang langsung ke Nyonya Nyimas daripada ke gadis galak seperti kakak. Pantas saja sampai saat ini tak ada lelaki yang mau dekat-dekat dengan kakak. Huh. Galak sekali macam....”
            “Macam apa....?”
            “Ah perkenalkan kak, ini tuan Ferdinand Koroskov dari Russia.”
            Tunggu, Jadi gadis ini? Gadis yang mengatur jeda kedipan mataku ini adalah kakak dari bocah ini? Gadis itu tertunduk malu setelah menyadari bahwa sejak tadi ada orang lain selain adiknya di ruangan ini, terlebih orang itu adalah bule.
            “Maaf Tuan, aku kelepasan. Perkenalkan namaku Puspita Sadewi. Panggil saja Dewi. Kakak dari bocah bandel yang bersama tuan saat ini.” Katanya dalam bahasa Inggris berlogat Jawa.
 Kejadian malam itu terulang kembali namun kali ini berlipat-lipat rasanya. Sentuhan tangannya yang menyalamiku terasa tak cukup sampai dikulit namun sampai ke jantung. Rasanya ingin melompat dan berteriak saja.


Sudah hampir lima jam aku menunggu di depan ruang operasi dengan was-was lagi penuh harap. Aku tidak bisa tenang. Aku sangat berharap operasinya  berhasil sehingga Marry bisa sembuh dan kembali seperti Marry yang ku kenal dulu. Marry yang periang. Yang selalu bisa membuatku tertawa disaat cemas sekalipun. Namun kali ini tak ada yang mampu menghilangkan rasa cemas ini. Pintu ruang operasi dibuka. Dengan cepat aku menghampiri dokter.
“Bagaimana operasinya dok?”
“Masuk ke dalam, dia membutuhkan dukunganmu.” Kata dokter itu dingin. Dengan gerakan secepat rusa aku masuk kedalam ruangan. Menghampiri kekasihku yang kini tergolek tak berdaya di atas kasur rumah sakit dengan berbagai macam alat bantu yang berusaha keras membuatnya agar tetap bisa bernafas.
“Ferdo, aku sudah tidak kuat lagi. Biarkan aku kalah. Kanker ini terlalu kuat. Bukankah mengalah itu tak berarti kalah?” Entah mengapa hati ini terasa perih mendengar kalimatnya barusan. Aku menangis.
“Sayang, pernikahan kita tinggal beberapa bulan lagi. Kamu harus bisa bertahan.”
“Tidak. Aku.. Aku berjanji sayang, akan mengirimkanmu seorang bidadari titisan dewi Venus  yang datang dari surga. Aku janji....... Dengarkan baik-baik Ferdo, aku jan...ji...”
Tangisku meledak. Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Marry. Aku tak paham betul maksudnya.   
Sejak saat itu hidupku tak bersemangat. Aku menjadi orang linglung. Tak tahu arah. Hingga akhirnya aku mencoba untuk bangkit. Melupakan segalanya dan mencoba membuka halaman baru. Aku pergi melancong ke berbagai negara di dunia untuk memperbaiki suasana hati.

Sudah hampir satu jam aku menunggu di depan ruang operasi dengan was-was lagi penuh harap. Aku tidak bisa tenang. Aku sangat berharap persalinannya berjalan dengan lancar. Pintu ruang persalinan dibuka. Dengan cepat aku menghampiri dokter. 
“Bagaimana persalinannya dok, berhasil?”
“Tengoklah kedalam, bayinya perempuan.” Kata dokter itu disertai senyuman ramah. Dengan gerakan secepat rusa aku masuk kedalam ruangan. Menghampiri istriku yang kini tergolek lemas diatas kasur rumah sakit. Meskipun demikian ia berusaha untuk tersenyum menyambut kedatanganku.

Pertemuanku dengan Dewi di sanggar Tresno membuatku tersadar bahwa Marry telah menepati janjinya. Dewi adalah sosok gadis jawa yang periang persis seperti Marry hanya dalam bentuk dan budaya yang berbeda. Dewi adalah gadis yang baik, ramah, namun tegas. Tepat seperti janji Marry, Dewi adalah titisan Venus. Sejak peristiwa disanggar, kami sering bertemu dari hanya sekedar berbincang seputar kebudayaan masyarakat Jawa sampai masalah pribadi. Aku mengajaknya untuk menikah ia terima dengan satu syarat. Ia tak ingin tinggal di Moskwa sana, cukup disini saja katanya, di tanah kelahirannya. Surga dunia. Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar