Rabu, 13 Januari 2016

Tahap Mitis, Ontologis, dan Fungsional dalam Kebudayaan Sunda

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.


Budaya Sunda merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia yang memiliki peranan dan pengaruh besar terhadap nusantara. Budaya Sunda memiliki konsep saling menghargai, menghormati, dan bersikap baik kepada siapapun termasuk kepada alam sekalipun. Dalam masyarakat Sunda dikenal dengan istilah silih asah, silih asih, dan silih asuh. Silih asih, silih asah, dan silih asuh merupakan pameo budaya Sunda. Ia menunjukan karakter yang khas dari masyarakat Sunda. Silih asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religious-sosial yang menekankan sapaan cinta kasih Tuhan dan merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan ungkapan lain, silih asih merupakan kualitas interaksi yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang melahirkan moralitas egaliter (persamaan) dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat silih asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang dipandang superior maupun imperior, sebab menentang semangat ketuhanan dan kemanusiaan. Sedangkan masyarakat silih asuh memandang kepentingan kolektif maupun pribadi mendapat perhatian serius melalui saling peduli, tegur sapa, dan saling menasehati. Budaya silih asuh inilah yang kemudian memperkuat ikatan emosional yang telah dikembangkan dalam tradisi silih asih dan silih asah dalam masyarakat Sunda.


Jika dikaitkan dengan teori C.A. Van Peursen dalam bukunya yang berjudul “Strategi Kebudayaan”, manusia terbagi menjadi tiga tahapan dalam berbudaya yang mana masyarakat Sunda sendiri telah mengalami tiga tahapan tersebut, adapun tahapan-tahapannya sebagai berikut:

1. Tahap Mitis

Pada tahap ini manusia merupakan bagian dari keseluruhan alam dan memiliki hubungan dekat dengan alam sekitarnya serta menyadari ada sesuatu yang gaib di luar dirinya. Para budayawan Sunda memandang pada tahap ini segala sesuatu baik hasil budaya atau entitas budaya sebagai hal yang gaib ( tidak terjamah oleh logika) artinya bersifat iirasional, dalam budaya sunda mistis sudah tidak asing lagi karna mistis tersebut masih digunakan mulai dari kakek dan nenek moyang sampe sekarang ini.

Pada jaman dahulu, ketika undak unduk basa dan ilmu pengetahuan belum dikenal, masyarakat Sunda begitu percaya terhadap hal-hal gaib/supranatural yang terjadi diluar kendali mereka. Adapun contohnya adalah kepercayaan masyarakat Sunda akan kekuatan gaib dari harimau, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya simbol-simbol dalam kebudayaan Sunda berupa harimau atau maung. Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Padjajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang, dan konon di hutan ini mereka bermetamorfosa menjadi harimau. Bahkan sampai saat ini simbol harimau masih melekat di kalangan masyarakat baik itu berupa verbal maupun non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Konteks lainnya adalah istilah pamali dalam bahasa Sunda yang diinterpretasikan sebagai larangan atau pantangan, contohnya “ulah motong kuku peuting-peuting!”. Jika secara logika apa salahnya memotong kuku pada malam hari? Namun, pada tahap mitis ini masyarakat tidak menggunakan logika sebagai tolak-ukur berpikir mereka, namun mereka berpegang pada tradisi turun menurun dan mempercayai hal itu sebagai kebenaran mutlak yang wajib dipatuhi.


Maung atau harimau yang merupakan simbol klub sepakbola PERSIB 


2. Tahap Ontologis

Tahap ini adalah ketika manusia mulai mengambil jarak dari segala sesuatu yang mengepungnya dan menelitinya demi mencari sebuah hakikat menurut ilmu-ilmunya. Tahap ini ditandai oleh manusia yang tidak lagi hidup dalam kekuasaan mitis namun bebas untuk memeriksa apapun. Dimensi ontologis disebut juga pandangan antroposentris dimana manusia bersifat asertif dan mengendalikan alam.

Dalam kebudayaan Sunda terdapat berbagai macam ritual atau upacara adat yang memiliki tujuan beraneka ragam. Contohnya adalah ritual tahunan yang terdapat di kawasan obyek wisata Pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Ritual ini diselenggarakan oleh masyarakat setempat berupa mandi suci atau Ngabungbang. Kata ngabungbang berasal dari “Nga” yang berarti ngahijikan (menyatukan) dan “bungbang” yang berarti membuang atau membersihkan. Secara umum, ritual ini berarti mandi suci untuk menghilangkan unsur-unsur buruk, baik lahir maupun batin. Contoh lain dapat kita temukan di situs megalitikum Gunung Padang yang terletak di daerah Cianjur yang jika dilihat dari masa pembangunannya, situs ini sengaja didirikan sebagai sarana penghubung antara yang hidup dengan arwah para leluhur yang sudah meninggal.

Situs Gunung Padang yang terletak di Cianjur, Jawa Barat 



3. Tahap Fungsional

Adapun tahap yang terakhir adalah tahap fungsional yang disebut sebagai tahap yang dimiliki oleh manusia modern. Pada tahap ini manusia mulai membangun relasi-relasi baru, dan yang ditekankan yakni arti segala sesuatu yang ada di sekitarnya dalam kaitannya dengan dirinya sendiri. Tahap cara berpikir ini selalu dikaitkan dengan modernitas.

Jika dikaitkan dengan situs Gunung Padang yang ada di Cianjur, maka dimensi fungsional itu antara lain:
· Adanya batu di teras keempat yang disebut batu gendong. Batu gendong tersebut merupakan batu andesit berukuran sebesar tas punggung berwarna coklat. Dipercaya kalau orang yang mampu mengangkat batu tersebut akan tercapai cita-cita dan harapannya.

· Adanya prototipe gamelan dalam bentuk batu memunculkan mitos kalau pesinden atau pemusik yang menjenguknya akan berpenampilan menjadi lebih baik.

· Teras kelima sering digunakan untuk mencari wangsit demi memompa kepercayaan diri oleh para pejabat daerah dan nasional (Helmy dan Jaluardi, 2012).

· Banyaknya pedagang, ojek, dan pengemis menunjukkan fungsionalisme ekonomi dari bangunan megalit Gunung Padang terhadap masyarakat sekitarnya.

Dewasa ini, Sastra Budaya Sunda dijadikan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi di Indonesia atau bahkan di luar negeri. Oleh karena itu saat ini banyak sekali sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan kebudayaan Sunda. Jika dahulu masyarakat Sunda sendiri tidak mengetahui tentang konsep budaya mereka, maka di jaman modern ini segala sesuatu yang berkaitan dengan tradisi dan budaya mereka sudah diilmukan sehingga siapapun bisa mempelajarinya.

Dengan belajar budaya manusia diharapkan tidak hanya bertanya dan menjadikan budaya sebagai objek penelitian semata, tetapi harus tanggap dalam menyikapi segala sesuatu yang ada di alam, baik itu dari segi sosial, agama, ekonomi, pendidikan, bahkan budaya itu sendiri.


Kampung Naga merupakan kampung adat yang masyarakatnya masih memegang teguh budaya Sunda, kampung ini terletak si kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar